"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Sabtu, 22 Oktober 2011

Kalang Kabut: NU Miring

Apa boleh buat, buku sudah dicetak. Pikiran sudah tertuang jadi catatan. Perasaan yang mengisi dada, tumpah-ruah. Semua itu digarap dengan baik menjadi buku berjudul "Dari Kiai Kampung ke NU Miring: Aneka Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru".

Bersampul hijau tua muda, tertampak bayang manusia dalam ruang geraknya yang konstan. Berkostum sorban dan kopiah. Sigaret di sela jari. Itulah sampul ­bayangan, bergambar Nahdlatul Ulama tercetak miring. Pembaca akan mengerti maksud sampul dan judul, tentu ­dengan membaca secara cermat dan kritis kandungan isinya. Sosok bayangan itu. Entah siapa mereka. Maka, baca dan ketahuilah.

Buku ini menjadi bermutu karena ­mengandung energi kritik luarbiasa. Bukan sembarang kritik, melainkan mengupas seluk-lilu kehidupan kaum Nahdliyyin--kiai, santri, warga NU yang dianggap dan warga NU biasa tidak dianggap. Warga NU terbagi-bagi begitu rupa. Untuk, oleh dan kepada siapa. Egalite dan elite, struktural dan kultural, kota dan desa, tua muda, serius nggak serius, dan sebagainya. Sehingga menjadi amat manusiawi, buku semacam ini ditulis. Tentu jika kita membacanya, para penulis seolah "kalang kabut" menghadapi kenyataan yang terjadi di tubuh NU akhir-akhir ini, khususnya pasca-Muktamar NU ke 32 di Makassar.

Terdiri dari 248 halaman dalam tiga bagian. Didahului asbab an-nuzul NU miring oleh Binhad Nurrohmat selaku editor. Bagian pertama, menonton NU. Kedua, mengulas NU. Ketiga, mencanda NU. Seakan tidak mencita-citakan sesuatu yang muluk-muluk.  Judul dan bagian isi memenuhi rasa bahasa kaum yang merasa memiliki masa depan. Mereka, kaum muda Nahdliyyin.

Ditulis sederhana dengan pilihan bahasa yang ringan tapi tajam. Mengalir mengisi ruang imaji pembaca, hingga selalu ada jeda menuai pertanyaan. Fakta diolah sedemikian rupa, sehingga jadi gurih sekaligus pedih. Nyaris tanpa kesalahan ketik pada ejaan.

Kalimat penutup di setiap tulisan, sangat berkesan. Seperti apa yang ditorehkan Acep Zamzam Noor berikut ini, "Kisah tentang NU mungkin tinggal episode-episode sinetron yang alur ceritanya klise, membosankan, dan mudah ditebak pemirsa." Mujtaba Hamdi, mengatakan "Usah berlebihan. Sebab di luar sana ada banyak mata menatap, dan tak semua mampu memahami gerak a la NU. Jangan sampai dikira sedang aksi goyang condong. Na'udzubillah..." dan Soffa Ihsan, menegaskan "Keteladanan itulah yang paling utama untuk diketahui. Sebab, ucapan tanpa ada bukti keteladanan takkan pernah bisa dipahami. Wallahu a'lam bi al-sawab."

Semua komentar di atas terasa bernada kurang ajar, menggurui. Meski tidak tepat disebut demikian. Karena itulah cara mereka menyapa persoalan yang tengah dihadapi. Suatu kesantunan tersendiri melalui satu tulisan yang tertata. Sekadar harapan kecil yang pedas didengar oleh beberapa kelompok, lantaran itu keluar dari pendirian nurani.

Keberanian seorang penulis lain dalam melihat persoalan NU juga bisa kita amati pada buku ini pada bagian "Menonton". Sudah sepantasnya penilaian dihargai. Kritik dipelihara dan dijaga demi perbaikan ke depan. Eyik Musta'in Romly menyuguhkan kesegaran yang menjadi kunci tulisannya. Dia melihat bahwa, "Hal yang harus dilawan adalah para penunggang NU yang memanfaatkan kebesaran NU demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan demi kemakmuran warga NU. Hal yang mesti dikritisi adalah ulama dan pemimpin NU yang mendoktrin dan membodohi warganya demi keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kekayaan untuk merebut NU struktural/kultural serta merebut kursi kekuasaan NU tanpa akhlaqul karimah. Juga mereka yang memutar uang dengan mengeruk kekayaan dengan menjual nama NU." Kekhawatiran yang mengandung harapan. Perasaan dan penilaian itu tidak bisa dianggap remeh. Perlu dipikir ulang dan dicari bagaimana cara penyelesaiannya, kalau memang itu dianggap masalah. Hanya tulisan, tapi jika mengandung kebenaran, tetap perlu diperhitungkan. Akhirnya mau jadi NU yang bagaimana? Mana saja boleh! Sebegitu seriusnyakah menjadi NU?

Kok ada, NU Miring? Macam mana...!!! Adakah NU tidak miring, NU lurus, berkelak-kelok bahkan bergelombang? Tawaran berbagai istilah, boleh saja. Tapi kebiasaan semacam ini terkesan hiperjargon. Persoalan yang menentukan masa depan, merah dan hitamnya kebenaran, tidak diselesaikan dengan cara demikian. Sekadar jeda kelakar, boleh saja. Tapi itu pun lebih baik, selama masih bisa menjiwai kegembiraan dengan NU gembira bersama saudara Binhad, Monggo mawon...

Judul Buku: Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penulis: Acep Zamzam Noer et.al
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Tahun Terbit: 2009
Jumlah Halaman: 248 hlm


Oleh: Abi S Nugroho

Resensi ini kali pertama dimuat www.wahidinstitute.org

0 komentar:

Posting Komentar