"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Rabu, 26 Juni 2013

Kompetisi: Bukan Sekadar Menang Kalah

Kehidupan adalah sebuah roda yang terus bergulir. Rangkaian waktu yang terus berkesinambungan. Di dalamnya terdapat kompetisi-kompetisi yang secara bergantian ikut serta mengiringinya. Terkadang secara langsung kita memang berada dalam kompetisi, seperti perlombaan. Terkadang juga kita tidak sadar bahwa selama ini setiap hari, secara tidak langsung kita terus berkompetisi.

Mengejar mimpi agar esok semakin baik bukankah termasuk kompetisi yang harus terus diupayakan?

Minggu ini kesibukanku penuh dengan kompetisi yang amat sangat. Secara profesional aku harus bisa mengelola dengan amat baik, secara personal juga demikian. Memang tidak mudah, terkadang diselimuti dengan derai air mata #Lebay hehehe

 Anandaku mengikuti banyak latihan untuk persiapan menghadapi lomba di sebuah sekolah swastar terkenal di Jakarta Selatan. Kebetulan ada sekolah swasta lain yang mengajak untuk latihan gabungan Futsal. Meskipun jauh dari sekolah kami (di daerah Tebet sementara sekolah kami di daerah Lebak Bulus) namun, kami memutuskan untuk tetap menerima tawaran tersebut. Selain untuk menambah pengalaman, juga dalam rangka persiapan tuk menghadapi lomba.

Saat perjalanan menuju ke lokasi, ananda sudah mulai berkata “waaah... kapan sampainya yaa..? dan aku cuma berkata “memang kan lokasinya jauh, jadi kita harus bagaimana?” Kata mereka “harus sabarrrrrrrr” aku hanya senyum-senyum simpul.

Akhirnya kami sampai juga. Ananda melakukan pemanasan kecil kemudian menyiapkan diri. Pelatih membriefing sebentar kemudian mulailah permainan tim pertama.

Tim pertama kami memulai dengan gol yang sangat indah. Tendangan sudut ananda Ravi menciptakan sebuah gol. Kamipun bersorak-sorak kegirangan. Kemudian apa yang terjadi....??? gol demi gol menghiasi gawang kami, sehingga kedudukan berakhir 2-4.

2 untuk tim kami dan 4 untuk tim lawan.

Kemudian bergantian, tim kami yang kedua mulai bermain. Tim yang pertama beristirahat, ada ananda yang terlihat murung sehingga tiba-tiba bilang “bu, aku pusing!” tapi ada juga yang nyantai aja. Yah itulah ananda, mereka mengekspresikan kekalahan dengan cara yang beraneka ragam.

Saat  tim kedua bermain, kami tetap memberi dukungan. Daan ternyata hasil tim kedua 7-2. Hmmm.... 7 untuk tim lawan dan 2 untuk tim kami. Hihihihi..

Setelah selesai permainan, antar tim saling bersalaman dan melempar senyum. Sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama.. “ayo semua siap yaa... Cis kacang buuuuunnnn....” kata mereka “ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis” hehehe

Setelah berfoto, ananda kami kumpulkan sebentar untuk membahas permainan tadi..

Kemudian aku berkata “Menang atau kalah adalah....??? ananda melanjutkan  “hal yang. Biasaaaaaa!!!” yang penting kita bermain dengan senang!!

Setelah itu kami yel yel bersama. Menyebutkan nama sekolah kami. Kemudian kami pun pulang dengan riang gembira.

Sepanjang perjalanan pulang, ananda tidak terlihat kesal ataupun murung, malah mereka bermain-main, bercanda-canda daaaaaan bahkan ada yang inisiatif untuk solat Asar di mobil.. hehehe luar biasa!! Akhirnya kami bertayamum dan solat ashar di mobil. Untuk membunuh waktu karena macet, mereka terus bermain, seperti tidak merasa capai, bahkan kekalahan tadipun sudah terlupakan (mereka sama sekali tidak membahas itu selama perjalanan pulang).

Mereka mulai memahami bahwa setiap kompetisi memang ada yang menang dan ada yang kalah. Itu adalah hal yang biasa. Namun, yang paling penting mereka sudah bermain dengan riang, berupaya keras, tidak menyerah dan yang terpenting bermain sportif saat perlombaan.

Akhirnya, moment hari itu semoga membawa pengalaman bermakna bagi mereka. Agar kelak saat dewasa, jika nanti mengikuti perlombaan bola atau perlombaan yang lainnya kemudian mengalami kekalahan, tidak bersikap kecil hati dan melakukan tindakan anarki bahkan curang terhadap lawan. Tidak seperti yang sering terjadi saat ini, perlombaan bola dihujani kartu kuning atau merah karena para pemain saling melukai dengan cara-cara yang kasar. Bahkan penontonpun ikut memperkeruh keadaan dengan saling melempar batu atau benda yang lainnya. Akhirnya tak jarang sebuah perlombaan harus dihentikan bahkan ditunda.

Kompetisi bukanlah hanya sekedar menang atau kalau, namun lebih dari itu. Menerima hasil yang terbaik setelah berupaya keras, kemudian berbesar hati jika hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan dan juga tidak patah semangat untuk terus berlatih. Hal tersebut adalah nilai-nilai yang harus terus ditanamkan sejak dini. Karena anak, adalah masa depan kita. Masa depan bangsa kita tercinta. Semoga nilai-nilai tersebut terus tertanam hingga mereka besar nanti. Amin.

Isma Bonita Sari, mengajar di sekolah Gemala Ananda, semasa kuliah aktif di Forum Studi MaKAR

Lurah Santri


“Brag...brag..” suara pintu kobong tersebut memecah kesunyian disaat sang fajar tengah bersiap melintasi dusun Pungangan. Tidak ada yang istimewa di pagi buta tersebut  karena seperti hari-hari sebelumnya, aktivitas shalat subuh berjamaah di mushola yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji sorogan kitab kuning di ponpes Al-karimiyyah berjalan roda sistem yang mengitari lembaga tersebut.

“Wah... sendal gua mana nih?” pertanyaan tersebut hampir terdengar setiap hari, tentu saja suara tersebut  keluar dari mulut santri yang berbeda. Rupanya selalu saja ada salah satu santri yang keluar dari mushola Al-Mukhtar dengan memakai sendal seketemunya dan kemudian ter-sistemkan sehingga teman-temannya yang lain pun memakai sendal yang ada di hadapannya.

Hari itu adalah hari minggu, para santri pun berleha-leha sejenak karena di hari tersebut mereka tidak perlu berangkat ke MI, MTs dan MA Al-Huda, tempat mereka menjalani pendidikan formal.

“Bangun!Bangun!” teriak Muslim yang membawa “tongkat sakti” yang ia dapatkan ketika disuruh mencari kayu bakar ke kebun kyai. Ia adalah santri senior yang belakang diketahui menjadi seorang “incumbent” lurah santri.

“Iya, Kang...,” hampir bersamaan para santri yang sedang tiduran menjawab.

“Sekarang ayo kita bersihkan aula!” lanjut Muslim memerintah.

“Siap, Kang....” semua santri menjawab.

***

“Alhamdulillah, sekarang aula sudah bersih. Ayo semuanya mandi, sejam lagi pesta demokrasi di pondok kita akan segara dilaksanakan,” ujar Muslim sambil melangkah menuju kobongnya. Satu jam kemudian, semua santri pun berkumpul di aula, tidak ada yang mewah dalam acara pesta demokrasi tingkat pesantren.

Al-Karimiyyah tersebut, tidak ada spanduk atau baliho yang memasang poto para kandidat. Tidak ada tim sukses yang berjualan visi misi para calon. Bahkan tidak ada serangan fajar yang semestinya dilakukan tadi pagi. Semua berjalan dengan sederhana.

Setelah Kyai memberikan sambutan, pesta demokrasi pun siap untuk dilaksanakan. Namun sebelumnya dijaring pemilihan bakal calon, dan nama-nama yang muncul adalah Sodik, Dedi, dan tentu saja Muslim. lurah santri “incumbent”.

Ketiga calon lurah tersebut kemudian dipersilahkan memberikan sambutannya, atau istilah kerennya, dibeberkan visi misinya jika nanti terplih menjadi lurah santri.

Pertama adalah Sodik, siswa kelas 2 MA maju dengan memakai seragam santri yang menurut prediksi Deki, teman sekobongnya, sepertinya seragam tersebut belum dicuci selama satu minggu, karena Deki tidak mencium aroma wangi dan selalu melihat pakian tersebut tergantung di pintu kobong.

“Jika saya terpilih menjadi lurah santri, saya akan menghapus senioritas, semuanya sama, saya dan teman-teman disini dalam pandangan saya sama, tidak ada yang berbeda” demikan kurang lebih inti

“Kampanye” Sodik. Tepuk tangan hadirin pun bergemuruh disertai dengan teriakan “Hidup Sodik! hidup Sodik!”

Selanjutnya Dedi, siswa kelas 3 MA yang terlihat perfectionis, memakai pakaian seragam yang wangi dan sudah disiapkan sejak hari kemarin, menurut Mustakim, teman sekampungnya, Kakaknya Dedi adalah seorang pemimpin mahasiswa di kampusnya di Jakarta sana.

“Jika saya terpilih menjadi pemimpin kalian semua disini, yang paling pertama sekali akan saya lakukan adalah mengganti istilah lurah dengan presiden. Jadi tidak ada lagi istilah lurah santri di sini, yang ada adalah presiden santri, kenapa? karena jabatan lurah itu adalah kecil, bahkan paling kecil sebelum RW dan RT. Lihat di lembaga pendidikan di sana. Lihat! Tidak ada istilah gubernur, bupati, camat, apalagi lurah. Tidak ada! Yang ada adalah Presiden...” demikian pidato Dedi yang cukup menggebu-gebu tersebut.

Terakhir adalah Muslim, teman sebangku Dedi di sekolah, sekali lagi (mungkin BUKAN untuk yang terakhir kalinya) dia adalah “incumbent” lurah santri. Semua santri sudah mengetahui bahwa orang tua muslim adalah sahabat karib pak kyai.

“Jika saya kembali terpilih menjadi lurah santri disini, saya tidak akan menghapus senioritas, karena hal ini penting untuk menjaga kedisiplinan kita semua, kemudian saya akan tetap memakai istilah lurah, karena hal ini sebagai bentuk tabarukkan kepada para pendahulu-pendahulu kita semua yang pernah mondok disini dan sekaligus menjaga tradisi kepesantrenan.

”Rupanya “kampanye” Muslim hanya sebatas itu, ia melupakan kampanye yang ia siapkan sejak tadi malam. Muslim hanya ingin menyampaikan ketidaksepakatnnya atas rencana-rencana “rival politiknya”,

Prosesi pemilihan pun dilaksanakan, dan Muslim berhasil meraup suara cukup luar biasa, yakni 89 suara yang kemudian di susul Sodik dengan 10 suara dan dedi yang hanya mendapat 2 suara.

Akhirnya“incumbent” lurah santri tersebut memegang jabatan untuk yang kedua kalinya, berbeda dengan “incumbent” pada jabatan publik lainnya, incumbent yang satu ini tidak melakukan intervensi kepada “rakyat”nya juga tidak menggunakan kas lembaga untuk kepentingannya demi mempertahankan jabatan yang dipegangnya.

Muhammad Ais Luthfi Kariem, Sekretaris Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pungangan, Patok Beusi, Subang. guru MTs/MA Terpadu Darul Ikhlas, Subang, Jawa Barat. Lulusan Universitas Islam Negeri Jakarta, aktif di Forum Studi MaKAR.

Rabu, 16 November 2011

Nasionalisme Kini

Dalam memerjuangkan negara republik Indonesia, kita dihadirkan pada kesadaran pentingnya arti pengorbanan. Nasionalisme yang selama ini dibunyikan dalam kehidupan, bernada Soekarnoisme. Nasionalisme bukan kebencian  pada bangsa lain (xenophobia). 




Namun adakah wajah baru nasionalisme yang menunjukkan dirinya sebagai cara mencintai bangsa dan negaranya sebagai bentuk elan perjuangan mencapai kesejahteraan, adil dan beradab? 

Banyak nian jawaban yang bisa diberikan untuk menambah keterangan mengenai hal tersebut. Namun adakah jawaban itu memungkinkan kita bisa melihat kenyataan saat ini yang penuh keterbukaan pada kemelaratan dan ketimpangan, khususnya dalam lapangan ekonomi?

Berdasarkan pandangan itulah, maka perlu kiranya mengupas persoalan nasionalisme yang tengah terjadi saat ini. Setidaknya setelah reformasi yang di dalamnya terdapat pemahaman baru mengenai arti mencintai bangsa dan negara. Bagian ini akan mengulas pokok persoalan dalam kerangka bernasionalisme yang mengalami krisis.

Nasionalisme Dulu
Antagonisme politik menentang adanya penjajahan dan penindasan oleh bangsa lain, diwujudkan dalam suatu tekad bersama, merdeka. Kemerdekaan yang memekik keras mengilhami semangat antikolonialisme dan imperialisme. Kesadaran bahwa dengan kebodohan tiada mungkin bisa melawan suatu bangsa penjajah yang lebih maju. Manakala tiba waktunya berdirilah lembaga pendidikan oleh kaum pribumi untuk melawan kebodohan. Melawan kebodohan bisa diartikan sebagai cara menentang penjajahan. Misal Trikoro Dharmo, Budi Utomo, Taman Siswa dan sebagainya itu merupakan alat untuk mendidik rakyat agar mengerti ilmu pengetahuan dan sadar bahwa ada cita-cita yang harus diperjuangkan.[1]
 
Namun tidak hanya itu, ada kekuatan yang sebelumnya memiliki pengaruh yang cukup kuat dan berakar pada alam kehidupan rakyat. Suatu jenis ilmu pengetahuan agama yang ditanam dalam hati sanubari umat islam di berbagai pelosok baik Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Pendidikan agamalah yang menolong rakyat pribumi hingga terbuka lah mata pada masa depan dirinya sebagai manusia yang tengah dijajah. 

Bagaimanakah cara pendidikan menyadarkan rakyat bahwa dirinya tengah dijajah? Pendidikan merupakan sarana tidak langsung dalam menegaskan bahwa ada kedaulatan yang dirampas. Ada yang dimiliki namun dihilangkan karena kepentingan pada keserakahan untuk menguasai kekayaan alam dan sumber daya kemanusiaan. 

Benedict Anderson dalam penelitiannya Revolusi Pemuda,[2] menjelaskan bahwa masuknya jepang ke indonesia dibantu karena adanya lembaga pendidikan, pesantren. Di Jepang, model pendidikan semacam ini bernama Dojo. Sehingga artikulasi perlawanan terhadap penjajahan bisa memungkinkan adanya kerjasama antara Jepang dan pribumi santri. Bukan berarti kaum santri bekerjasama dengan jepang untuk menjajah bangsa sendiri, melainkan untuk mengembangkan kekuatan militansi melawan Belanda. Setelah militansi terbentuk karena pendidikan ketentaraan oleh jepang, maka kekuatan itu digunakan untuk mengusir Jepang.

Setidaknya inilah sebagian yang sangat kecil pembacaan tentang semangat melawan penjajahan. Nasionalisme berbentuk ekspresi perlawanan terhadap kedzaliman menentang pembodohan dan penindasan oleh bangsa lain. Meski demikian, ada kerjasama penjajah dengan pihak pribumi sendiri untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sesaat hingga pada akhirnya, hubungan antarpribumi yang dijajah terjadi perpecahan.

Perpecahan antarpribumi karena diadu domba melalui politik devide et impera, memecah dan kuasai digunakan untuk memperlemah kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Perasaan keterjajahan sedemikian kuat itulah yang menyebabkan terbuka lebar mata dan hati untuk tidak mau terus-menerus dalam kurungan kolonial. Mendidik sebagai cara yang tepat untuk mempercepat kesadaran tersebut. 

28 Oktober 1928 sebagai titik tolak kesadaran berbangsa dan bernegara. Kristalisasi kesempatan para pemuda untuk menegaskan identitasnya sebagai bangsa yang bersatu dan merdeka. Menegaskan haknya sebagai bagian dari kebudayaan yang beragam. Dari sabang sampai merauke, terbuka jalan menyatukan keragaman itu menjadi, berbangsa satu, tertanah air satu, berbahasa satu sebagai ciri kesadaran nasional dan perkembangan lebih lanjut nasionalisme. 

Sebagai ciri lanjutan tentang pandangan kebangsaan masa Soekarno. Masa ini adalah jaman di mana paham kebangsaan atau nasionalisme digunakan sebagai alat utama melawan kolonialisme dan imperialisme, khususnya Inggris dan Amerika. Belanda telah angkat kaki dari tanah air Indonesia meninggalkan sekutu yang kelak menjadi musuh utama negara yang baru merdeka ini. Malaysia dikendalikan Inggris, sehingga Soekarno menyebutnya negara boneka tanpa konsepsi. Singapura pun demikian, dibuat inggris sebagai lalu lintas perdagangan dalam rangka menguntungkan bagi bangsa Inggris dan sekutu. 

Begitupun usaha Soekarno menggaungkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia, menunjukan sikap penyatukan keragaman budaya. Irian Barat diperhitungkan oleh Soekarno, semata untuk menjauhkan pengalaman seperti yang terjadi di Australia, di mana suku Aborogin mendapat perlakuan sangat diskriminatif oleh bangsa koloni yaitu Inggris raya. Padahal Inggris datang ke Australia hanya sebagai tempat pembuangan para kriminal kelas kakap di Inggris, namun kemudian, bangsa asli Aborigin dilenyapkan begitu saja.

Pengalaman semacam ini perlu dihindarkan. Irian Barat, tanah Papua tidak menjadi ajang penjajahan baru oleh bangsa kulit putih. Soekarno menyatukan pandangan berbangsa, jauh melampaui jaman. Nasionalisme sebagai paham menolak penindasan atas ras, suku dan setimen etnisitas. Sebuah bangsa bisa dibangun asalkan punya kesadaran untuk maju dan merdeka. Kemerdekaan dan kedaulatan adalah syarat utama untuk maju.

Satu masa telah berlalu, di mana penjajahan secara langsung sudah disingkirkan. L’ exploitation d’ homme par homme, l’ exlpoitation nation par nation, tidak dibenarkan sampai kapan pun. Jalan revolusi adalah cara terbaik melawan penjajah berkuasa selama-lamanya. Tidak ada alasan bagi suatu negeri menjajah negeri lain. Merampas dan menindas negeri lain. 

Kemerdekaan republik indonesia 17 Agustus 1945 menjadi momentum perubahan di banyak sudut, terutama dalam hati bisa berkata bahwa perjuangan yang selama ini diperjuangkan bisa berhasil. Proklamasi kemerdekaan sebagai jembatan emas mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia. Harapan yang terkandung dalam pembukaan UUD 45 adalah pokok perjuangan selanjutnya.

Nasionalisme Kini
Umumnya, nasionalisme dimengerti sebagai paham politik untuk menyatukan dan menyadarkan rakyat tentang hakikat berbangsa. Satu nasib, satu jiwa satu tanah air sepenanggungan dijalani dengan lapang hati. Penuh gelora perjuangan, itulah yang ditanamkan bapak pendiri negeri ini. Rela mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidup, di sanalah arti pengorbanan dalam perjuangan. Bahwa hidup sekalipun dikorban demi sesuatu yang amat berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa di kemudian hari. Nasionalisme, rasa cinta pada tumpah darah dan negeri sendiri adalah yang utama. Demikian pemahaman yang perlu dibangun oleh generasi kemudian. 

Bahwa perjuangan itu diwariskan, dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya, sebagai bukti luhurnya semangat satu nasib satu jiwa. Perlu ada semacam pendidikan yang terorganisir dengan baik sebagai cara mutlak bagi hidup berbangsa dan bernegara. Bedirinya organisasi yang turut berjuang melawan penjajahan, mulai dari pendidikan hingga perlawanan langsung dengan berperang secara fisik, itulah isyarat adanya kemauan bersama menolak hidup yang kuasai bangsa lain. 

Soekarno digulingkan oleh kekuasaan militer. Soeharto berada di pucuk kepemimpinan nasional. Kekuatan militer terkonsolidasi sedemikian kuat. Adanya antagonisme politik, di mana kekuasaan dipusatkan pada kepentingan militer dan kekuasaan ekonomi dikelola dengan model konglomerasi, kekuatan sumber daya ekonomi dimiliki segelintir orang. Adanya sikap politik soekarno yang dianggap tercela, dimanfaatkan untuk menjatuhkan kekuasaan soekarno yang sah. Rezim politik berganti, baju nasionalisme berganti.[3]  

Soeharto menjalankan otoriatarianisme kekuasaan. MPR berada di bawah bayang-bayang pengaruhnya. Nasionalisme ditafsirkan oleh penguasa politik menyesuaikan dengan kepentingannya. Rabun paham kebangsaan terjadi dalam kurun 30 tahun lebih, bahkan hingga kini. Terjadilah krisis paham kebangsaan antara rakyat dan negara. Dan reformasi adalah saat untuk memulihkan paham kebangsaan sebagaimana mestinya. Oleh generasi baru yang sesungguhnya memiliki cakrawala pemahaman yang baru pada bangsanya.

Era reformasi sebagai tonggak perubahan sosio politik nasional. Krisis ekonomi menyebabkan perubahan regulasi kekuasaan. Mahasiswa dan rakyat bersatu menjatuhkan kekuasaan paling otoriter di asia. Nasionalisme yang sempat mengalami krisis mulai bangkit sedikit demi sedikit untuk melawan perilaku politik yang menindas kemerdekaan rakyatnya sendiri. Usaha bersama untuk memulihkan tanah air yang rapuh karena kekuasaan sewenang-wenang selama 3 dekade. Isyarat perubahan untuk memulihkan paham kebangsaan bisa dilakukan melalui beragam cara, baik sadar maupun tidak disadari. Berikut beberapa faktor perubahan tersebut. 

Beberapa faktor penting tentang keterbukaan pemahaman arti sebuah bangsa, bisa melalui media informasi, aktifitas kemasyarakatan dan pendidikan, usaha ekonomi, kebudayaan dan perpolitikan. 

a.       Keterbukaan Informasi
Hadirnya abad informasi merupakan pertanda penting bagi horison perubahan sosial. Keberadaan sesuatu yang sebelumnya belum bisa diketahui kini bisa diakses, langsung dan cepat. Nasionalisme masa pergerakan nasional yang dipahami oleh ben anderson adalah nasionalisme oleh kapitalisme cetak. Bangkitnya pemahaman berbangsa dibarengi oleh berkembangnya pertumbukan industri penerbitan yang berisi berita tentang persoalan yang dihadapi oleh rakyat indonesia. Maka itu, Ben menyebutnya sebagai Imagined Community, “Komunitas yang Dibayangkan”. 

Bertolak dari tesis Ben Anderson itulah, kecenderungan informasi memiliki titik sentral dalam pembentukan pemahaman tentang paham berbangsa.[4] Ada agen yang membunyikan nasionalisme sehingga tersebar luas. Media internet memungkinkan revolusi pengetahuan dalam skala lebih massif dan mudah dicerna.

Dari beragam perspektif nasionalisme yang muncul di tengah kehidupan, memungkinkan beredarnya perdebatan oleh rakyat yang bisa mengakses media informasi tersebut. Keterbukaan informasi laksana pedang bermata dua. Satu bagian bisa digunakan untuk menguatkan pemahaman dan sadar berkebangsaan, namun di bagian berikutnya bisa saja menghancurkan paham nasionalisme itu sendiri, atau setidaknya mengubah paham menjadi internasionalisme. Batas-batas sebagai pemisah bisa ditabrak oleh perangkat informasi dan kecanggihan mengoperasikannya. 

b.      Aktivitas Kemasyarakatan dan Pendidikan
Olahraga menjadi bagian dari nasionalisme berupa kompetisi secara sportif. Persaingan niscaya terjadi ketika dalam pertandingan, tim kesebelasan Indonesia melawan Malaysia, misalnya. Api nasionalisme menguat meski sesaat. Bak jamur di musim hujan, jalan raya bisa bernuansa merah putih. Mulai kaos hingga lambang kenegaraan digunakan sebagai aksesoris. Demikian suasana sewaktu pertandingan berlangsung heboh. Nasionalisme menubuh sebagaimana baju kokoh atau kopiah digunakan sebagai identitas keagamaan. Lantas bisa saja dikatakan bahwa kenyataan semacam itu hanyalah kulit belaka. Nasionalisme hadir dari sanubari yang berkobar, semata bukan di kulit saja. Silahkan saja buktikan, apa yang hadir dalam dada setiap orang yang tangah menonton, bahkan pemainnya sekalipun.

Bidang yang tidak mungkin dilupakan adalah pendidikan. Bidang ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja sebagai ukuran perubahan sosial. Nasionalisme hadir di lapangan pendidikan, bisa diciptakan dengan pendidikan. Melalui pendidikan formal maupun non formal, agaknya memang meniscayakan pentingnya kesadaran berbangsa. Bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara melihat beberapa hal penting dalam pendidikan. Terutama sekali letak pendidikan adalah di tiga bagian; yaitu rumah, sekolah dan lingkungan terdekat di mana kehidupan seseorang berlangsung. Yang utama adalah pendidikan di rumah. Kedekatan hubungan dan perilaku sejak lahir dibangun di rumah. Melalui keteladanan, seseorang bisa belajar lebih baik tanpa paksaan atau pemahaman sempit. Letak pendidikan tidak hanya di sekolah melainkan terutama sekali di luar sekolah.

c.       Usaha Ekonomi
Di antara faktor penyebab lainnya adalah kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang memunculkan semangat nasionalisme adalah persaingan bisnis antara pihak pemodal asing dengan pemodal dalam negeri. Pun dalam peningkatan usaha menyejahterakan rakyat, kepemilikan oleh negara untuk memenuhi hajat hidup rakyat melalui BUMN. Kepentingan modal bangsa lain, diberikan kesempatan oleh negara dalam batas tertentu kerap membawa dampak tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Oleh beberapa pihak misalnya, membiarkan pasar tradisional dikalahkan kegiatan bisnis swalayan modern. Mbok Minah bersaing dengan Indomart. Toko Mas Joko bertanding dengan Alfamart. Mbok Minah dan Mas Joko ditariki pajak untuk membiayai kehidupan bernegara, membangun dan memajukan negara. Namun, pada saat bersamaan, pedagang kecil tradisional tercekik karena beberapa pihak dalam negara ini menghalalkan praktik penjajahan para pemodal swalayan modern tersebut. 

Era globalisasi berekses pada kenyataan masuknya produk impor secara terbuka. Bahan kebutuhan pokok maupun kebutuhan rumah tangga lainnya. Beras dan buah-buahan, gandum dan gula, biasa dijadikan untuk pertukaran tersebut. Padahal, jika usaha memaksimalkan produksi dalam negeri ditingkatkan, kebutuhan semacam itu bisa memenuhi bangsa sendiri tanpa harus impor dari negeri lain. Dengan impor beras oleh para cukong menyebabkan sulitnya para petani mendapatkan keuntungan penjualan hasil buminya. Para nelayan mencari ikan di lautan berkompetisi dengan pemilik alat canggih penangkap ikan. Padahal, cara tradisional sebagai upaya menjaga kelestarian alam. Alat yang canggih biasanya berakibat pada penangkapan berlebihan sehingga merusak tatanan ekosistem di lautan. 

Alangkah naifnya, persaingan dagang yang dialami oleh rakyat dibiarkan. Proteksi oleh pihak yang berwajib, dalam hal ini adalah negara, bertanggung jawab memayunginya sehingga rasa kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh generasi selanjutnya bisa dirasakan rakyat seutuhnya. Kemerdekaan sebagai fakta adanya kedaulatan, berikutnya memunculkan perasaan cinta pada bangsa dan tanah air. Terutama sekali, nasionalisme harus tumbuh di kalangan yang mengerti adanya kecurangan dan ketidakadilan. 

d.      Kebudayaan
Aspek lebih luas yang melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kebudayaan. Kebudayaan apa yang dimaksud? Tentu saja, nasionalisme dihidupkan untuk menghadapi kebudayaan penghambat laju perbaikan oleh rakyat. Negara bisa hancur, tapi kebudayaan akan tetap hidup. Berlalunya perjalanan sejarah, meninggalkan jejak berupa praktik keseharian. Kenyataan yang terpendam dalam kurun waktu sekian lama, memunculkan spirit baru. Dari manakah kesadaran sabang hingga merauke sebagai kesatuan organis? Idealisasi masa Majapahit oleh Soekarno dijadikan untuk menegaskan adanya kebudayaan dan kesatuan administratif menjadi negara Indonesia. 

Kebudayaan nasionalis adalah kebudayan yang mencintai bangsa dan tanah air. Beragam daerah bersatu menjadi bangsa indonesia. Kehendak hidup bersama diiringi saling membantu dan gotong royong. Dengan inilah negara republik indonesia bisa hidup dan tumbur bersemi. Bahasa dari beragam daerah memiliki keragamannya masing-masing. Sangat berbeda antarsuku yang satu dengan suku lainnya. 

Kesusastraan juga bagian aspek membangun kesadaran berbangsa. Karakter manusia diciptakan oleh budaya. Karya sastra anak bangsa diterjemahkan ke dalam banyak bahasa negara lain, menunjukkan adanya apresiasi sedemikian mendalam dari bangsa lain terhadap bangsa indonesia. Misal novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, mendapat  penghargaan dari negeri lain, di mana bangsa lain bisa mengetahui Indonesia melalui karya sastra tersebut. 

Naasnya, sebagai ciri utama penghargaan pada bangsa sendiri, beberapa waktu lalu, suatu tempat bernama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, terlantar karena kurang biaya dari pemerintah daerah. Hemat penulis, kita harus sadar bahwa pendokumentasian itu penting. Melalui tempat semacam itulah, lembar-lembar perjalanan kebudayaan direkam, disimpan rapih di rak-rak peradaban.[5] Bisa saja berpendapat, tidak terlalu penting, namun bila kita memikirkan nasib generasi selanjutnya, mereka akan bertanya, di manakah catatan bersejarah itu? 

Kebudayaan nasionalisme sebagai upaya praktis memerjuangkan masa depan berbangsa yang lebih baik. Soedjatmoko pernah membahas kebudayaan sosialis. Lantas dia balik bertanya, kebudayaan macam apakah itu? Hingga pada kesimpulan pembahasan dia mengatakan bahwa kebudayaan sosialis adalah budaya yang diciptakan untuk kemakmuran tanah air dan rakyat seutuhnya. Dengan demikian, pertanyaan deduktif tentang macam apa kebuyaan nasionalis itu? Maka jawaban tersebut sudah jelas, bahwa kebudayaan berdasar rasa cinta pada bangsa dan tanah air segenap isinya adalah ciri utama kebudayaan nasionalis. 

e.      Perpolitikan
Pembahasan awal, nasionalisme berkutat pada perkara politik. Namun kini nasionalisme bisa dialami sebagai keseharian praktis yang lahir di keseharian. Beragam cara bisa ditunjukkan karena adanya semangat nasionalisme tersebut. Masa peralihan kekuasaan, nasionalisme terhimpit karena persoalan ekonomi yang menggerogoti sendi-sendi kenegaraan. Realitas politik tidak memberikan angin segar pada perbaikan kehidupan rakyat. 

Perihal utama yang paling bisa dilihat dalam perpolitikan adalah adanya korupsi. Negara semakin rapuh karena korupsi jelas melupakan sesuatu yang dianggap suci, bahkan tuhan sekali pun. Negara harus membersihkan diri dari penyakit yang dideritanya. Kesadaran berbangsa dan bernegara dilupakan, korupsi bisa terjadi begitu saja. Padahal, efek korupsi secara perlahan akan menghancurkan mentalitas dan kehidupan bernegara secara sehat. 

Korupsi mencuri hak orang lain yang bukan menjadi haknya. Sesuatu yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan banyak orang, digunakan untuk kepentingan segelintir orang atas nama kepentingan banyak orang. Membeli suara rakyat dengan uang, hingga mendapat posisi yang menguntungkan, jelas berakibat pada pengelolaan kesadaran nasionalisme. Uang pajak dibayarkan untuk pembangunan digunakan bagi kepentingan segelintir orang, dengan jelas adalah pencurian hak rakyat. Rasa berbangsa dan bernegara sejak kecil perlu dibentuk. Dengan begitu, adanya pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar bisa diwujudkan. Negara yang sehat, menciptakan kehidupan berbangsa juga sehat, adil dan makmur.

Kesimpulan
Nasionalisme tidak dibangun satu hari. Kesadaran mencintai bangsa dan negara perlu ditumbuhkan. Sebagaimana para pejuang rela mengorbankan segala sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara, termasuk rela kehilangan kebahagiaan dan hidupnya, maka itulah teladan sebagai pelajaran berharga. Masa lalu, nasionalisme dipahami untuk melawan bangsa lain yang merampas hak bangsa pribumi, namun kini nasionalisme bisa dipahami dengan beragam pengertian. 

Nasionalisme muncul sebagai ekspresi penolakan terhadap kedzaliman bangsa sendiri. Memperjuangkan sesuatu yang sudah semestinya menjadi hak rakyat pada umumya dan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Nasionalisme hadir dalam kenyataan hidup, seperti menghargai kelompok lain yang juga menjadi bagian dari tanah air indonesia, rasa berbangsa dengan mengayomi sesama, gotong royong dan bersolidaritas kuat. 

Rasa nasionalisme bukan hanya milik segelintir elit tertentu melainkan perlu dihidupakan di alam kenyataan. Realitas diciptakan oleh ide. Ide diilhami oleh adanya realitas, maka nasionalisme akan tumbuh sebagaimana realitas itu sendiri yang menciptakannya. Dengan demikian nasionalisme sebagai ide, butuh diciptakan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis nasionalisme terjadi sebagai bukti akan kehadiran kenyataan yang baru. Pahamilah nasionalisme, maka upaya kesejahtaraan, berkeadilan dan berkeadaban akan tercipta di bumi Indonesia tercinta.
   





[1] Slemet Muljana, Kesadaran Nasional Jilid 1; Yogjakarta; LKIS; 2008
[2] Benedict Anderson, Revolusi Pemuda; Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946; Jakarta; Pustaka Sinar Harapan; 1988
[3] Jeffery Winters, Dosa-Dosa Politik Orba; Jakarta; Djambatan; 1999
[4] Benedict Anderson, Imagined Community; Yogyakarta; Insist Press; 2001
[5] Di bulan Maret hingga Juni, media cetak seperti Kompas, membahas persoalan ini cukup mendalam. Tidak hanya cetak, beberapa media online banyak meliput persoalan ini.

Senin, 31 Oktober 2011

Membaca Kifayatul Akhyar secara Manhaji

Hukum Islam atau yang sering disebut Fiqih termasuk  disiplin ilmu  sangat diminati sebagian besar masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini tampak dari tema-tema yang diangkat dalam pengajian umum maupun forum-forum diskusi di pesantren yang kerap menjadikan Fiqih sebagai pokok pembahasan. Bahkan, terkesan kalau Fiqih adalah ajaran paling inti dalam Islam. Akibatnya, menjadi sebuah aib atau bahan tertawaan jika ada santri setelah keluar dari pesantren tidak paham Fiqih atau tak mampu membaca kitab-kitabnya.

Posisi Fiqih bak penguasa dalam pemerintahan yang memiliki otoritas melakukan intervensi kepada siapa saja. Sehingga problem apapun bisa dipandang dan dijelaskan dalam perspektif Fiqih. Orang pesantren tidak perlu lagi belajar Ilmu Politik untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan yang ideal. Akan tetapi, mereka cukup mengacu kepada kaidah Fiqih, “Tasharruful imam ‘alar-ra’iyyah, manuthun bil mashlaha." Begitu juga dalam membahas toleransi, mereka tidak perlu kuliah khusus toleransi untuk mengetahui kenapa toleransi itu adalah sebuah keharusan, tapi, cukup mengutip kaidah dalam Fathul  Mu’in, “daf’ dlarar ma’shumin.”

Sekilas hal ini menimbulkan kesan, Fiqih terlalu menghegomoni dalam tubuh orang Islam Indonesia, khususnya pesantren. Sebab, semuanya serba dijelaskan dengan Fiqih. Seolah-olah pesantren “lebay” dan terlalu kreatif dalam improvisasi. Apa hubungan Fiqih dengan Demokrasi, HAM, dan toleransi? Apakah dalam Fiqih dibahas mengenai Demokrasi, HAM, dan toleransi? Tentu saja tidak, namun begitulah kehebatan orang-orang pesantren dalam memahami turas agar relevan dengan konteksnya. Singkatnya, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah.”
 
Fiqih bisa diibarat dengan pisau bermata dua, ia akan menjadi progresif apabila dibaca secara cerdas. Sebaliknya, bagi pembaca yang “salah paham” dengan Fiqih ia akan terjebak kepada taqlid yang membabi buta, atau kalau tidak ia akan menjadi orang yang anti Fiqih. Mengapa? Kita tahu bahwa kebanyakan kitab-kitab Fiqih yang diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia, lebih kepada kitab yang ditulis dengan model komentar terhadap ulama salaf (model syarah).  Tradisi ini mulai perkembang pada era kemunduran umat Islam tepatnya ketika runtuhnya kota Bagdhad. Pada dekade ini, kebanyakan ulama tidak lagi produktif dalam menghasilkan karya-karya yang orginal, akan tetapi mereka lebih fokus dalam mengomentari karya ulama sebelumnya. Akhirnya, kita tidak lagi menemukan orang-orang seperti Imam Syafi’i, selaku penggagas Usul Fiqih dan lainnya pada tempo ini.

Kitab Fiqih yang ada dihadapan mata kita saat ini adalah hasil dari jerih payah ulama klasik. Pastinya, kitab ini ditulis dalam tempo waktu yang berbeda dengan saat ini. perbedaan waktu tentu juga berpengaruh terhadap kejadian, peristiwa, dan kondisi sosial yang ada pada waktu itu. walhasil, realitas ketika kitab terlahir dari pena penulisnya tidak  berbanding lurus dengan apa yang dihadapi oleh pembacanya saat ini.

Fakta semacam inilah yang penulis maksud dengan Fiqih ibarat bermata dua. Orang akan menjadi anti Fiqih atau jatuh kejurang taqlid ketika ia tidak memahami kapan Fiqih itu dibuat dan persoalan apa yang dihadapinya saat itu. bagi si pembaca yang seperti ini, ia kan mengklaim kalau kitab-kitab Fiqih klasik tidak relevan dengan zamannya, sebab tidak membahas persoalan aktual. Kemudian, bagi pembaca yang kedua akan terus menerus jatuh kejurang taqlid dan anti perubahan, karena yang ada dalam kitab Fiqih hanya pendapat-pendapat ulama yang terkadang tidak disebutkan alasan dan argumentasi. Sehingga menjadi sulit bagi kita untuk menumukan pijakan-pijakan rasionalitas dari pendapat yang ia munculkan. Padahal, permasalah selalu berkembang terus menerus tanpa henti, sedangkan teks sangatlah terbatas, demikian Ibn Rusyd menyebutkan. 

Disinilah membaca kitab Kifâyatul Akhyâr fî halli ghâyatul ikhtishâr menemukan konteksnya. kitab ini ditulis oleh Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini al-Husni, seorang ulama yang berasal dari Damaskus. Sebenarnya kitab yang ditulis oleh ulama abad 9 ini adalah berupa komentar terhadap kitab ghayâtul ikhtisâr, karya Al-Qadhi Abu Syujak Ahmad al-Husain bin al-Isfahani (533-593 H). Imam al-Husni terbilang ulama yang prolifik sekaligus produktif kala itu, hal ini tampak dari banyaknya karya yang timbul dari ukiran pena beliau. Selain Kifayatul Akhyar beliau memiliki beberapa karya lain, seperti Syarah Tanbîh, Syarah Minhâj,  Syarah Muslim,  Talkhîs Takhrij AHadis Ihya, Talhkhisul Muhimmat,  Qawaid FiqihAhwalul Qubur, Siyaru Nisa` as-Salaf al-‘Abidat, Ta dibul Qaum, dan lain-lain.

Kifayatul Akhyar bukanlah kitab yang asing ditelinga kita. Kitab ini sudah dibaca berulang kali, bahkan ratusan kali oleh sebagian pesantren maupun kampus. Tapi persoalannya bagaimana cara membacanya, apakah dengan pembacaan taqlidi, “imani,” atau dengan pembacaan kritis-metodologis? Membaca Kifayatul Akhyar dengan model taqlidi atau “imani”, tidak akan menghasilkan sesuatu yang baru dalam kitab ini. sebab, kita hanyalah ibarat penumpang yang tidak tahu akan dibawa kemana. Dengan pembacaan seperti ini juga akan membuat Kifayatul Akhyar teraneliasi dengan konteks kekiniannya. Ia tidak lagi progresif sebagaimana dulu ketika ia dilahirkan oleh penulisnya. Tetapi, bedahlah kitab ini dengan model pembacaan yang ketiga, yakni kritis-metodologis (manhaji).

Jika ditelisik lebih dalam, sebetulnya Imam al-Husni sudah mendidik para pembacanya agar membaca persoalan Fiqih secara manhaji, bukan sekedar taqlid terhadap satu pendapat saja. hal ini dapat dilihat dalam penjelasan yang dipaparkan pada setiap babnya. Misalnya membincang hukum berwudhu` dengan air musyammas (air yang dipanaskan dengan cahaya matahari). Menurut ar-Rafi’i berwudhu`dengan air musyammas hukumnya makruh. Beliau berpendapat dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, air musyammas dapat menimbulkan penyakit kusta (HR. al-Daraquthni dan al-Baihaqi). Kemudian pendapat ini juga didukung oleh pendapatnya Umar, yang juga memakruhkan berwudhu` dengan air musyammas

Namun, ketika menjelaskan persoalan ini, imam al-Husni tidak menerima begitu saja pendapat ar-Rafi’i yang juga diamini oleh Abi Syuja`. Beliau melakukan analisa yang tajam terkait hukum Hadis yang dijadikan pegangan oleh ar-Rafi’i dalam mengukuhkan pendapatnya. Menurut mayoritas ahli Hadis, sebagaimana yang juga dijelaskan dalam Syarah Muhadzab, Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah hukumnya dhaif, bahkan ada yang mengklaim Hadis ini maudhu’.  Begitu juga dengan pendapat Umar Bin Khattab, riwayat ini dhaif karena ada rawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad, menurut mayoritas ahli Hadis rawi ini adalah dhaif.

Ternyata, perdabatan ini tidak selesai dengan mengklaim kalau riwayat ini dhaif. al-Husni membawa kita kepada persoalan yang lebih pelik lagi. Pasalnya, walaupun mayoritas ahli Hadis berpendapat bahwa Hadis ini ini Dhaif, akan tetapi, menurut as-Syafi’i riwayat ini adalah sahih, pendapat ini juga diamini oleh al-Daraquthni. Kondisi seperti ini membuat kita bimbang diantara dua pilihan, apakah berpatokan kepada as-Syafi’i atau berkiblat kepada mayoritas ahli Hadis? Jelas, perbedaan ini timbul karena berbedanya metodologi yang dipakai ulama dalam menghukumi sebuah Hadis. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menyelesaikan perdebatan ini dengan menganalisa manhaj (metodologi) yang digunakan masing-masing ulama. Bukan hanya sekedar taqlid terhadap satu pendapat tanpa mengetahui argumentasinya. Bisa jadi kesimpulan kita akan sama dengan ulama sebelumnya, bisa jadi tidak. Sebab yang diikuti bukanlah pendapatnya, akan tetapi metodologinya. 

Dengan pembacaan model ini akan menjadikan Fiqih lebih aktual dan relevan dengan zamannya. Sehingga persoalan apapun yang muncul akan terjawab, sekalipun itu tidak ditemukan dalam kitab klasik. Perdebatan mengenai hukum air musyammas ialah segelintir dari persoalan yang disinggung dalam Kifayatul Akhyar. Sangat banyak amstal yang harus diungkap dalam kitab ini, yang tidak mungkin untuk dijelaskan dengan keadaan kertas yang serba terbatas ini. Yang terpenting pelajarilah bagaimana metodologi (Mahhaj) yang dipakai al-Husni dalam menjelaskan masalah-masalah Fiqih. Setelah itu, bacalah Kifayatul Akhyar sebagaimana al-Husni membaca.    

Kuliah di Dirasah Islamiyah dan Studi Hadist

Sabtu, 29 Oktober 2011

Tentang Amal


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amal diartikan: 1. Perbuatan (baik atau buruk) => ia dihormati orang karena amalnya yang baik, bukan karena kedudukan atau kekayaannya. 2. Perbuatan baik yang mendatangkan pahala (menurut ajaran agama Islam) => berbuat amal kepada fakir miskin; salat adalah amal ibadat manusia kepada Allah. 3. Yang dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, mengumpulkan dana untuk korban bencana alam, penyandang cacat, orang jompo, anak yatim piatu, dsb) => membuka dompet amal = mengumpulkan sumbangan melalui surat kabar untuk menyumbang korban banjir dsb.; penjualan prangko amal; penyelenggaraan pertunjukan amal dst. 
Meski saya pribadi tidak termasuk orang yang suka mengikatkan diri dengan pembakuan kamus dalam memakanai setiap kata, namun tetap mempertimbangkannya sebagai rujukan terutama yang berkaitan dengan lokalitas seperti pemaknaan kata amal dalam kosa kata Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab ini. Dan karena saya juga bukan seorang ahli dalam bidang linguistik, maka saya pun hanya memaknainya sebatas rasa dan perasaan saya yang merupakan endapan dari beragam realitas yang saya hadapi dan selami. Tentu saja hal ini juga sangat dipengaruhi oleh apa-apa yang telah saya baca dan pelajari sebelumnya.

Ya, pada suatu masa dalam periode kehidupan saya, hampir saja saya berputusasa dalam artian yang sesungguhnya. Pada saat itu, amal jenis apa pun yang saya lakukan, saya merasa tidak akan lagi ada gunanya. Lalu saya pun bertemu dengan Syaikh ‘Athaillah Sakandariy yang mengupas panjang lebar tentang amal ini dalam kitabnya Al-Tanwiyr fiy isqathi al-tadbiyr, yang—sebagaimana terjemahan harfiah judulnya—kemudian saya jadikan  panduan atau penerang dalam berusaha. Kitab ini pulalah yang kemudian mendorong saya untuk memberanikan diri mengakrabi kitab Al-Hikam, opus magnum beliau.
Dan aforisma pembukanya yang berbunyi:

من علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزل

Pun langsung saya maknai sebagai: Tanda bagi seseorang yang kelewat subyektif (berlebihan dalam mengekspektasi segala yang telah diperbuatnya), adalah berkurangnya pengharapan terhadap realitas obyektif yang harus dihadapinya saat ia merasa tidak sinkron. (Halaman 1)

Pemaknaan saya yang semacam itu, saya lakukan karena saya membaca aforisma beliau selanjutnya yang berbunyi:

مما يدلك على وجود قهره سبحانه أن حجبك عنه مماليس بموجود معه 

Satu hal yang bisa memberimu pemahaman akan adanya sifat Pemaksa ( القهار ) bagi Allah adalah: Dia menghalangimu dari-Nya, dengan keberadaan sesuatu yang sesungguhnya tak pernah ada. (Halaman 21)

Dan diteruskan dengan:

متى فتح لك باب الفهم فى المنع عاد المنع عينِِ العطاء 

Ketika Dia telah membukakan pintu pemahaman kepadamu akan arti sebuah ketercegahan, (biasanya, ketercegahan ini kita maknai sebagai kegagalan yang menyedihkan), maka (saat itu pula, setelah kita mampu mawasdiri dalam melakukan evaluasi terhadap ikhtiar kita secara holistik), kegagalan (atau istilah motivator; sukses yang tertunda) itu, hakekatnya adalah wujud anugerah  Allah (yang sesuai untuk kita pada masanya). (Halaman: 96)

Dari sinilah kemudian saya berusaha memberikan apresiasi secara positif terhadap mereka  yang memandang realitas obyektif dengan kacamata ala Darwin atau Richard Dawkins di abad ini. Dan apa yang mereka sebut sebagai saintis skriptural, atau yang mereka cibir dengan sebutan  junk science pun saya amini dengan istilah pseudo religious atau spiritualitas semu. Yaitu orang-orang yang berusaha memandang realitas obyektif dengan cara mencocok-cocokkan berbagai doktrin yang tertulis dalam kitab suci dan yang semacamnya dengan cara ilmiah (scientific).

Mengapa demikian? Karena science sejatinya lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apa pun, melainkan dari berbagai percobaan yang dilakukan tanpa mengenal lelah dari beragam observasi atas segala fenomena alam yang telah diinstal oleh Tuhan dengan sedemikian rupa sebagai software. Sementara kitab-kitab suci sesungguhnya disusun hanya berdasarkan oleh suatu bentuk kepercayaan atau iman terhadap keberadaan sesuatu yang adikodrati seperti Sang Pencipta alam semesta ini secara absolute dan tidak memerlukan bukti-bukti empiris sebagai pembenar (tashdiq) atasnya.

Husnudhan saya terhadap orang-orang atheis di atas, secara langsung atau tidak langsung ternyata telah melahirkan kemuakan pada hipokritas kaum beragama. Dan saya tidak merasa perlu untuk menyesalinya, tepatnya bersyukur, karena kenyataan itu justru membukakan pintu ketertarikan bagi saya terhadap kejujuran Ki Ageng Suryomentaram. Seorang bangsawan Jawa yang anti feodalitas, dan tak sampai tergoda menjadi sok ilmiah dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, padahal beliau adalah sahabat dekat Ki Hajar Dewantara yang kemudian kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Dari sinilah kemudian lahir himmah saya untuk mwujudkan Manusia Kuasa, Kuasa Manusia yang tidak hanya sebatas wacana. Karena itu, jika pun nantinya Manusia Kuasa, Kuasa Manusia jadi diterbitkan dalam bentuk buku, itu semata-mata kami lakukan agar para sahabat juga berperan aktif dengan memberikan masukan yang konstruktif untuk memperkaya khazanah kita di masa mendatang.

Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet..!
Tuhan telah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya..!

Ungkapan Friedrich Nietzsche, seorang filsuf kelahiran 5 Oktober 1844 dari Röcken Jerman yang sempat dianggap gila pada masanya itu, yang kemudian memimpikan manusia luhur yang ia sebut sebagai Ubermensch karena telah berhasil “melucuti” kekuasaan Tuhan atasnya dan menjadikan dirinya berkuasa, menurut saya adalah cita-cita mulia yang hingga kini masih membutuhkan keseriusan langkah para penempuh untuk mewujudkannya.

Salam…

Bintaro, 27 Febriari 2011


Wasiat Gus Dur dalam Dialog Peradaban

Selasa 12 Desember 2010 saya merasa mendapat kehormatan diundang oleh seorang sahabat guna menghadiri jumpa pers dan peluncuran buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian antara Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Ikeda Sensei (Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai International ke-3) di Gedung Pusat Kebudayaan Soka Gakkai Indonesia di bilangan Jakarta Pusat.

Peluncuran buku ini dihadiri Ibu Shinta Nuriyah dan putri-putrinya termasuk Mba Yenny. Hadir juga rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, Bapak JK (mantan wapres), dan Ibu Dewi Motik Pramono yang berimprovisasi saat didaulat melantunkan lagu Bengawan solo dalam iringan musik tradisional Jepang, Koto. Dan deretan tokoh masyarakat yang agaknya tidak perlu saya sebutkan satu persatu.

Saya tidak akan mengulas dialog peradaban antara Gus Dur dan Ikeda, yang proses wawancaranya antara lain dilakukan pada saat-saat Gus Dur melakukan cuci darah menjelang akhir pengabdian beliau di dunia ini (4 Agustus 1940 – 30 Desember 2010). Tapi saya akan menukilkan beberapa paragrafnya untuk para sahabat. Bagi yang tertarik, silahkan membelinya karena buku Best seller di Jepang ini, edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan tersedia di toko-toko buku.


Ikeda:
Kehangatan hati, keramah-tamahan orang-orang di negara Bapak telah menarik hati orang banyak. Indonesia memiliki banyak jenis bunga seperti kembang sepatu, bougenvil, katleya, wijayakusuma, dan raflesia yang disebut sebagai kembang terbesar di dunia, dan bunga-bunga lainnya.

Gus Dur:
Di Indonesia, bunga flamboyan adalah bunga yang dijadikan sebagai tanda akan menjelang masuknya musim hujan. Saat flamboyan berwarna merah berkembang adalah puncak hari-hari yang paling panas. Saat bunganya berguguran dan tersisa daun-daun berarti mulai masuk musim hujan. Kalau di Jepang, saat bunga sakura berkembang menandakan akan datangnya musim semi, ya?

Ikeda:
Ya, betul. Bunga sakura adalah bunga kenegaraan Jepang. Saya menyukai pohon sakura sejak kecil.
Bunga kenegaraan Indonesia adalah bunga melati, bukan?

Gus Dur:
Ya, saya sangat menyukai bunga melati, karena sejak kecil diberitahu bahwa itu adalah kembangnya para wali. Melati bentuknya kecil, berwarna putih bersih dengan keharuman yang khas.

Ikeda:
Saya mengetahui pribahasa Jawa yang berbunyi “nyuwun sekar melati, ingkang mekar ning jeroning ati.” Jadi bunga melati sangat pantas dijadikan bunga Negara Bapak yang memiliki kerendahan hati.

Nichiren Daishonin yang kami ikuti, menjelaskan bahwa, “Jika hati orang-orang kotor, tempat mereka tinggal pun akan menjadi kotor. Sebaliknya, jika hati orang-orang bersih, maka tempat mereka tinggal pun akan menjadi bersih.”

Berarti hati yang indah membuat tanah suci dan melindungi lingkungan indah, lalu membuat alam yang indah menjadi berkilau.

Gus Dur:
Saya ingat saat berkunjung ke pameran foto Bapak Ikeda, Dialog dengan Alam yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2007. Saya berterimakasih atas penyelenggaraan pameran foto yang luar biasa di negara kami. Tema yang berjudul Dialog dengan Alam merupakan tema yang sangat penting.

Tuhan menganugerahkan alam secara keseluruhan kepada umat manusia supaya kita menggunakannya sebaik mungkin. Dengan arti demikian, bila manusia tak berbuat apa-apa terhadap alam, maka hal itu sama dengan merusak alam. Jadi merusak alam itu adalah merusak kemanusiaan.

Di dalam ajaran Islam ada sebuah ungkapan yang sangat bagus yang berarti misi Tuhan berada di dalam diri sendiri. Alam sangatlah dekat dengan kita, karena itu kita harus melestarikannya untuk selama-lamanya.

Ikeda:
Daya penyelaman dan perspektif Bapak tersebut sangat dalam. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terimakasih atas bantuan dan kerjasama Bapak Wahid saat penyelenggaraan pameran foto saya.

Buddha Sakayumi menyinggung tentang keharuman bunga melati sebagai salah satu bunga yang harum luar biasa dengan berkata bahwa orang suci berkebajikan memiliki keunggulan yang lebih harum dari bunga melati.

“Keharuman bung tak akan melawan angin, begitu pula dengan keharuman bunga melati atau cendana maupun kemenyan. Namun keharuman dari orang bajik dapat berlawanan dengan hembusan angin. Keharuman dari orang yang bajik akan harum semerbak ke segala penjuru.”

Mereka yang suci dan memiliki kebajikan terus memberi semangat dan harapan kepada masyarakat dengan aroma wewangian yang dipancarkan lewat martabat orang tersebut, bukan hanya pada saat terhembus angin buritan saja, namun juga pada saat angin haluan.

Perkataan tersebut tepat sekali dengan jalan kehidupan yang Bapak Wahid tempuh, yang mengarahkan masyarakat ke arah pengembangan dan perdamaian dengan mengatasi berbagai kesulitan.

Gus Dur:
Terimakasih atas penilaian yang amat tinggi terhadap saya. Terusterang saja, sebenarnya saya tidak berpikir bahwa kesulitan itu bukan hal yang sulit bagi saya.

Saat saya mengalami kehilangan sebagian besar penglihatan, dan mengalami penyakit berat setahun sebelum pelantikan presiden pun, saya pikir yang utama adalah saya harus menerima nasib yang telah diberikan Allah kepada saya.

Namun saya juga tahu bahwa saya harus melakukan yang terbaik untuk menangani keadaan. Oleh karena itu, saya tidak pernah menyesali nasib saya. Sebaliknya, sampai hari ini saya terus melakukan berbagai usaha untuk mencegah diri saya berhenti bekerja.

Ikeda:
Hati saya amat tersentuh pada keyakinan tegar Bapak Wahid.

Saya pun mendapat banyak caci-maki maupun penindasan atas tuduhan yang tidak benar. Walaupun demikian, ketika menghadapi penindasan saat melakukan kebenaran dan mewujudkan perdamaian, saya menetapkan hati bahwa ini adalah suatu kehormatan. Dan saya maju terus.

Keyakinan saya sejak masa remaja adalah, orang yang kuat saat berdiri seorang diri merupakan pemberani yang sejati. Gelombang yang menghadang dan menggempurnya membuatnya semakin kuat.

Selama ini Bapak Wahid terlibat dalam dunia jurnalistik sebagai penulis yang penuh keyakinan. Dan juga terjun ke dunia politik yang harus mengemban tugas untuk kebahagiaan rakyat. Saya mengetahui bahwa Bapak Wahid pernah menerima kritikan yang bertujuan buruk.

Apakah Bapak Wahid pernah memendam rasa kecewa dan kesal karena dikhianati?

Gus Dur:
Terlalu sering dikhianati sehingga tidak merasakannya sebagai tantangan. Nanti akan ada hikmah dari tiap kali terjadinya pengkhianatan itu.

Saat saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden bulan Juli 2001, saya berjanji akan bekerja untuk demokrasi yang lebih baik. Saat itu saya juga tidak menyesal.

Satu-satunya hal yang menyedihkan bagi saya adalah kehilangan beberapa pita kaset musik Ludwig van Beethoven yang secara khusus saya koleksi. (tertawa)

Ikeda:
Selama ini, Bapak Wahid mengubah kesulitan menjadi bekal untuk kemajuan.

Saya ingat ketika bertemu dengan Bapak Wahid pertamakali setelah Bapak melepaskan jabatan sebagai presiden di bulan April 2002. Saya masih ingat sekali dan dapat merasakan keyakinan Bapak yang tak tergoyahkan, dengan suara yang penuh semangat dan keberanian.

Gus Dur:
Pada saat bertemu dengan Bapak Ikeda di Tokyo, Bapak memberikan banyak inspirasi kepada saya. Justru dengan adanya pertemuan itu, saya bertekad lagi menggunakan sisa hidup saya untuk mengabdi pada kepentingan Negara.

Ikeda:
Terimakasih, suatu pujian yang amat besar bagi saya. Ludwig van Beethoven, pemusik yang Bapak singgung tadi pernah berkata, “apa pun yang terjadi tak akan kubiarkan diriku hancur terkalahkan oleh nasib. Oh, alangkah hebatnya hidup seribu kali lipat dengan satu jiwa.”

Beethoven telah menciptakan aransemen musik Simfoni No. 5 dan Simfoni No. 9 yang dikenal sebagai Ode to joy, dan karya-karya lainnya. Itu menjadi pusaka tertinggi bagi umat manusia yang diperoleh melalui perjuangan hidup menghadapi badai kesulitan yang menerjang. Kehidupan yang ditempuhnya memberikan dorongan semangat kepada saya.

Masih teringat dalam kenangan saya saat remaja, ketika saya mendengar musik aransemen Beethoven yang diputar dengan gramophone player sederhana bersama dengan teman-teman. Sungguh menyegarkan diri untuk mengumpulkan semangat.

Gus Dur:
Saya pun suka karya Beethoven, terutama Simfoni No. 9. Simfoni itu mencerminkan kehidupan Beethoven yang penuh dengan perubahan-perubahan dan perjuangan yang keras.

Tema simfoni tersebut adalah menggapai kegembiraan dengan mengarungi badai kesulitan. Ini dialami sendiri oleh Beethoven ketika mencipta smfoni tersebut.

Karena pada waktu itu ia sudah tuli samasekali. Ketika ia sanggup menciptakan koor musik yang begitu tinggi dengan perasaan, maka para pendengar permainan Simfoni No. 9 menilainya sebagai ‘the inhuman voice’.

Ikeda:
Ya, lagu tersebut merupakan lagu abadi. Seni yang agung akan membawa kita kepada spiritualitas yang tinggi. Dan spiritualitas yang tinggi menumbuhkan daya cipta seni yang agung.

Dan seni sejati itu lahir dari adanya kesulitan, serta kegembiraan yang muncul dari lepasnya kesulitan tersebut. Seni sejati mengandung keyakinan dan kecintaan untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan mengatasi kesulitan dan mendapatkan hikmahnya.

Justru itulah seni agung yang senantiasa menyentuh hati manusia dalam kehidupan sejati yang tak mengenal batas negara dan zaman.

Perkataan Beethoven yang berbunyi “seni menyatukan semua orang” sangat terkenal. Musik sebagai kembang unggul di setiap negara, bangsa, dan budaya merupakan kekuatan untuk menyatukan dunia.

Gus Dur:
Saya sependapat dengan Bapak. Saya masih ingat, saat mengunjungi Universitas Soka saya disambut dengan musik tradisional Koto (alat musik kecapi Jepang) oleh sejumlah mahasiswa.

Di Min-On Concert Association (Min-On) saya mendapat kesempatan mendengar nada piano klasik yang sama digunakan oleh Wolfgang Amadeus Mozart, yang juga sangat dihargai Beethoven. Dan juga saya dapat mendengar langsung lagu Oh Ibu yang liriknya dibuat oleh Bapak Ikeda, dan seorang staf wanita Min-On menyanyikan lagu tersebut untuk kami.

Saya merasa terharu pada melodi yang sangat indah dan juga merasa kagum pada arti lirik lagu yang telah dijelaskan. Setiba di hotel, saya segera mendengarkan hadiah CD dari Min-On yang berisi aransemen musik Oh Ibu yang dimainkan dengan berbagai instrumen musik.

Di halaman lain yang membicarakan seputar perlawanan terhadap militerisme.

Ikeda:
Saya mengetahui bahwa Kakek Bapak Wahid pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia telah menjadi korban pemukulan tentara Jepang sehingga lengan kanannya cacat. Bukankah begitu?

Gus Dur:
Ya, betul. Kakek saya, Bapak KH Hasyim Asy’ari dan banyak orang yang berjuang untuk kemerdekaan negara ditahan. Kakek saya adalah seorang kiai, dipaksa harus membungkuk kea rah timur, arah matahari terbit, untuk menghormati Kaisar Jepang, tetapi kakek saya menolak perintah paksa tersebut sehingga ia mendapat perlakuan kekerasan.

Ikeda:
Saya sebagai orang Jepang memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para korban yang menderita akibat penjajahan Jepang ke negara-negara lain.

Yang menderita kesengsaraan bukan hanya Kakek Bapak Wahid saja, tetapi tidak diketahui entah berapa banyak orang yang telah direnggut nyawanya serta dihancurkan kehidupannya dan menderita kesengsaraan. Mereka ada di negara Bapak dan negara-negara Asia lainnya.

Makiguchi (Tsunesaburo Makiguchi, Presiden Soka Gakkai International pertama) menegaskan tentang perbuatan yang diluar batas-batas prikemanusiaan yang telah ia alami seperti pada saat ia diinterogasi dalam penjara. Ia mengatakan bahwa invasi Jepang ke Negara-negara Asia tidak mungkin bisa disebut sebagai perang suci. Kesalahan prinsipil dengan pengarahan psikologis yang diberikan oleh penguasa negara pada saat itu telah membuat semuanya terjerumus dalam kesesatan.

Agar tragedi tersebut tidak terulang lagi, maka kami telah memperluas pergerakan rakyat dengan tujuan untuk membangun perdamaian dunia dan melanjutkan estafet tujuan serta tekad Makiguchi. Universitas Soka dan SD, SMP, serta SMA Soka dan organisasi-organisasi pendidikan lain yang saya dirikan, juga bertujuan untuk membina orang-orang berbakat yang dapat memberi kontribusi untuk perdamaian.


Saya mengetahui bahwa Kakek Bapak Wahid, Bapak Hasyim Asy’ari berdedikasi untuk kemerdekaan Negara Bapak dan dihormati sebagai Pahlawan Nasional dan juga dikenal sebagai pendidik agung.

Bapak Hasyim Asy’ari berusaha untuk secepatnya menerapkan pendidikan modern yang reformatif saat itu seperti mata pelajaran matematika, ilmu pengetahuan, bahasa asing dan mata pelajaran lainnya. Bukankah demikian?

Gus Dur:
Ya, benar. Kakek saya, Hasyim Asy’ari mendirikan sekolah keasramaan yaitu pondok pesantren saat ia berusia 28 tahun. Kakek saya ingin meningkatkan moral dan rohani di masyarakat melalui pendidikan pesantren. Kakek saya mendirikan pesantren di dekat pabrik gula yang dikelola oleh orang Belanda.

Saat itu daerah dimana pesantren didirikan, moral manusianya tidak baik karena banyak bar atau tempat judi bermunculan. Namun orang-orang setempat terpaksa menyerah karena menggantungkan kehidupan pada pabrik gula tersebut.

Kakek saya mengharapkan perubahan keadaan buruk tersebut menjadi baik lewat pendidikan. Kakek saya meyakini bahwa jika seseorang tidak dapat mengubah ayahnya, maka seseorang harus berupaya mengubah ibu dan anak melalui pendidikan.

Ikeda:
Sangat jeli sudut pandang beliau.

Dari sudut pandang yang lain, baik buruknya keluarga amat tergantung peran ibu. Menurut saya semakin penting menyoroti ibu dan anak untuk masa depan.

Gus Dur:
Ya. Pada awalnya kakek saya membangun musholla sederhana yang terbuat dari bahan bambu. Anak-anak diberi tempat hidup di situ agar mendapat pendidikan dan juga dapat terlindungi dari pengaruh orang-orang jahat. Tidak lama kemudian, musholla tersebut dapat meraih penilaian tinggi di mata masyarakat sebagai tempat berbasis pendidikan yang penting.

Dan juga pesantren kakek saya menyebarluaskan metode pendidikan yang telah diperbaiki ke pesantren-pesantren lain. Saat kakek saya meninggal dunia, pesantren kakek telah berkembang sampai mempunyai murid sekitar 2.500 orang. Orang-orang yang telah lulus dari pesantren kakek banyak yang mengemban tugas di berbagai pesantren lain, atau ada juga yang mendirikan pesantren baru.

Ikeda:
Kehidupan Kakek Bapak Wahid sangat agung dan mulia. Dapat dikatakan bahwa makna tugas mulia yang disebut sebagai pendidikan akan menjadi kekuatan yang menyinari seluruh masyrakat lewat penerusnya.

Bapak Hasyim Asy’ari seorang pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama mempercayai dan menghargai cahaya pendidikan dan kekuatan pendidikan secara tuntas.

Bapak Wahid juga sangat mementingkan peningkatan kemanusiaan. Bapak Wahid dulu pernah menegaskan bahwa tugas utama agama adalah mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan. Dan mengatakan juga bahwa moralitas yang harus ditumbuhkan haruslah memiliki watak utama, berupa keterlibatan kepada perjuangan si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak dan penghargaan yang wajar atas hak-hak asasi mereka. Moralitas Islam adalah moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan sesama manusia.

Saya yakin bahwa Kakek Bapak Wahid pasti sudah menjalankan hidup agung dengan kesungguhan hati sesuai dengan perkataan Bapak ini.

Gus Dur:
Tidak ada hal yang lebih menggembirakan hati saya selain dari kegembiraan atas pemahaman Bapak Ikeda yang tepat tentang kakek saya. Kakek saya selalu toleran kepada orang lain, hal ini sangat mempengaruhi saya. Kata santri memiliki maksud, murid sekolah agama Islam di Indonesia.

Sikap toleran saya secara konsisten terhadap sejumlah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi para santri dan non-santri di Indonesia, berdasarkan sikap toleran kakek saya ini.


Note: Menurut Daisaku Ikeda, orang yang memperjuangkan kebaikan selama sehari adalah orang baik. Orang yang memperjuangkan kebaikan selama sebulan adalah orang yang lebih baik. Orang yang memperjuangkan kebaikan selama setahun adalah orang yang lebih baik lagi. Dan orang yang memperjuangkan kebaikan sepanjang umurnya adalah orang agung.


Bintaro, 07 Desember 2010.