"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Kamis, 27 Oktober 2011

Tan Malaka: Jalan Konfrontasi, Jalan Politik

Tan Malaka ibarat kabut dalam sejarah republik ini. Namanya memang tidak seakrab Syahrir, Soekarno atau Hatta karena memang dibekukan dari teks sejarah politik resmi selama puluhan tahun. Meski geraknya ibarat kabut, namun jalan perjuangan yang ditempuhnya sangat jelas: jalan konfrontasi. Tan Malaka sangat keras terhadap jalan negosiasi yang diambil para pendiri bangsa lainnya. Baginya, jalan tersebut hanya akan merawat kapitalisme-imperialisme Belanda. Jalan tersebut sekaligus jalan intelektual. Kata dan perbuatan tidak bercelah dalam diri Tan Malaka. Jalan konfrontasi yang dipilih bertolak dari filsafat dialektika material yang diyakininya. Madilog adalah manifesto pikiran untuk jalan politik yang ditempuhnya. Oleh sebab itu, ada baiknya kita bermula dari Madilog.
 
Madilog
 
Pemikir pejuang pasti memiliki traktat yang merangkum pikirannya yang terus bergerak. Marx menulis Manifesto Komunis, Lenin menulis The State and Revolution, Trotsky menulis Marxism and Terrorism, Gramsci menulis Prison Notebooks, Ferdinand Lassale menulis Zur Arbeiterfrage (On Labor Issue)  dan Althusser menulis Essays on Ideology. Semua pemikir pejuang pasti berpikir dan berbuat, bukan sekadar berbuat apa yang dipikirkan orang lain. Mereka memiliki sebuah cetak biru intelektual tentang keadaban baru pasca penindasan dan keterbelakangan.
 
Tan Malaka memiliki Madilog. Madilog adalah buah asketisme intelektual Tan Malaka. Traktat tersebut disusun Tan Malaka di desa rawajati, dekat pabrik sepatu kalibata Jakarta. Tan Malaka menyewa gubuk bambu ukuran 15 meter persegi untuk bekerja dari pukul enam pagi sampai dua belas siang merangkum gagasan-gagasannya. Dari gubuk itu Tan Malaka mondar mandir ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen (sekarang museum nasional) untuk riset literatur bagi bukunya. Madilog pun selesai kurang lebih satu tahun mulai dari 15 juli 1942 sampai 30 Maret 1943. 

Poeze dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan bahwa inti madilog adalah penglihatan masa depan indonesia yang merdeka dan sosialis. Merdeka satu hal, sosialisme hal lain. Republik bisa merdeka secara formal namun rakyatnya tetap menjadi kuli di tanah airnya sendiri. Sebab itu, inti Madilog adalah dialektika. Dialektika adalah logika yang bertolak belakang dengan logika identitas Aristoteles. Apabila logika identitas mengatakan bahwa A = A dan ≠ Non A, maka dialektika justru menekankan betapa A (tesis) melahirkan Non A (anti tesis). Bentrokan antara tesis dan anti tesis akan mengalami sublasi menjadi sebuah sintesa. Semisal proposisi pulau adalah tanah (tesis) melahirkan proposisi pulau adalah air (anti tesis) yang bersublasi menjadi pulau adalah tanah yang dikelilingi air (sintesa). Kapitalisme (tesis) melahirkan sosialisme (anti tesis) dan bersublasi menjadi komunisme lanjut (sintesis). Dialektika tidak serta merta mengatakan bahwa satu epos sebangun dengan kesempurnaan melainkan mengandung cikal bakal kesempurnaan, seperti kapitalisme mengandung buruh sebagai kekuatan revolusioner yang akan membawa peradaban ke tingkat yang lebih humanis.
 

Dialektika adalah hukum sejarah. Kolonialisme pasti melahirkan anti kolonialisme. Kolonialisme menyiapkan jalan bagi anti kolonialisme. Betapa tidak, pendiri-pendiri bangsa kita sebagian besar mengecap pendidikan di negeri Belanda dan mengolah pikiran-pikiran revolusioner di sana. Dialektika sejatinya bukan negosiasi melainkan kontradiksi. Sosialisme bukan negosiasi terhadap kapitalisme tetapi kontradiksi total mengenai hak milik pribadi, relasi antar manusia, konsep negara dan hukum. Dialektika adalah imperatif untuk berhadapan secara frontal dengan rejim yang bobrok secara keadaban.
 

Dialektika adalah filsafat konfrontasi yang dibutuhkan proletar mesin dan tanah di bakal republik ini. Tan Malaka sendiri mengatakan, 

Banyak Proletar mesin dan tanah di Indonesia dan kekuatannya yang tersembunyi memang  sudah cukup kuat buat merebut kekuasaan dari imperialisme Belanda. Tetapi didikannya masih sangat tipis dan tiada cocok dengan keperluan dan kewajiban klasnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia (Weltanschauung). Kekurangan Filsafat. Mereka masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahyul campur aduk. Mereka tiada sadar akan kekuasaan klasnya. Belum insyaf sendiri, bahwa tak dengan pertolongan proletar mesin, semuanya percobaan buat merebut dan membentuk Indonesia merdeka adalah perbuatan sia-sia belaka. Dua puluh tahun dulu saya sudah yakin akan kekuatan kaum proletar yang tersembunyi itu. (Madilog, 1851, hal. 5)

Kekuatan kontra atau anti kolonialisme sudah tersembunyi di republik ini dan siap diledakkan. Namun, persoalannya adalah mereka belum memiliki filsafat yang tepat dan masih dibayang-bayangi logika non-dialektika yang mengidentikan antara kolonialisme dengan kemanusiaan. Jalan pikiran keliru itu yang dicoba dilempangkan Tan Malaka lewat Madilog. Namun, upaya tersebut tidak sekadar menyalin filsafat Barat tanpa menanamkannya dalam konteks lokal-keindonesiaan. Tan Malaka mengatakan,

Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia kita tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indonesia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim, sejarah, keadaan jiwa dan idamannya. (Madilog,1951, hal. 6)

Filsafat harus ber-konteks. Ini posisi intelektual Tan Malaka sebagai pemikir pejuang. Konteks iklim, sejarah, keadaan jiwa dan cita-cita harus dipertimbangkan dalam merumuskan filsafat dialektika. Alam pikiran masyarakat Indonesia masih dipengaruhi oleh cara berpikir atau logika mistika. Logika mistika adalah aturan berpikir yang fantastis, tahyul dan sembarangan. Misalnya, pandangan mesianistik “ratu adil” yang menciptakan sikap fatalis, pasif dan beku di sebagian masyarakat Indonesia. Logika mistika tidak melihat pertentangan kelas dalam kapitalisme-imperialisme Belanda sebagai embrio revolusi kemerdekaan melainkan semata pembagian kerja yang diatur secara adi kodrati (semua orang sudah diatur tugas dan fungsinya secara ilahiah). Logika identitas, proporsionalisme dan stratifikasi harus digantikan dengan logika pertentangan atau dialektika. Untuk itu Tan Malaka mengingatkan,

Ahli filsafat yang jawa, ahli politik atau ahli siasat yang cerdas ahli ekonomi yang sempurna, mesti memakai senjata pertentangan, seperti senjata dalam pepatah Indonesia: yang tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal mengena. Ahli filsafat mesti selalu berjalan di antara kedua kutub, utara dan selatan, ujung dan pangkal, ya dan tidak, ada dan tak-ada. Sebentar dia bisa cemplungkan otaknya ke dalam ada, sebentar lagi ke dalam tak ada, dan pada tempat masing masing memakai logika, tetapi pada pemandangan jauh mempunyai waktu lama, dia mesti pikirkan ada itu terletak di kutub tak-ada, tak boleh bercerai satu sama lainnya. Si-ekonomis dan ahli politik, sebentar boleh memakai Logika, dalam menyelidiki beberapa perkara dalam golongan proletar atau kapitalis, tetapi dalam filsafat masyarakat sekarang, masyarakat kapitalisme, dia tidak boleh melupakan kedua kutub, kaum modal dikutub utara, kaum buruh di kutub selatan. Satu sama lain bertentangan, tak boleh dipadu. Disini dialektika yang merajalela (Madilog,1951, hal. 11)

Juga,
 
Tetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan. Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis. Pertentangan politik buruh dan politik majikan dan akhirnya pertentangan kebudayaan kaum pekerja dengan kebudayaan kaum hartawan yang menganggur itu. Jelaskanlah kedudukan proletar dalam dunia kapitalisme ini. Peringatkanlah, bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia. Bangunkanlah semangat kritis – menentang - dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.  (Madilog,1951, hal. 12) 

Kekuatan revolusioner anti kapitalisme-imperialisme tersembunyi pada pekerja mesin menurut Tan Malaka. Kita boleh berdebat mengenai ini mengingat sebagian besar pekerja kita adalah pekerja tanah (petani). Namun, Tan Malaka sepertinya yakin betul bahwa pekerja mesin adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Tanpa mereka, konfrontasi tidak akan melahirkan kemerdekaan yang bertahan lama. Kemerdekaan politik tanpa disertai ekonomi akan kembali membuat republik ini terjajah oleh kekuatan kapitalisme-imperialisme yang masuk melalui jalan negosiasi, bukan senjata. Dan perekonomian yang berdikari ditopang oleh pekerja mesin yang tangguh dan solid.

Walaupun dalam bagian badan kita, otak kita itu adalah barang yang perlu dan penting, hati, jantung, usus, dsb juga penting, tetapi kalau tak-bertulang belakang kita tak bisa berdiri. Klas tani itu penting, klas saudagar di dunia sekarang berguna, klas intelek berguna-penting, tetapi tak-ber-klas pekerja-mesin, Indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri tak akan bisa teguh dan lama. Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada pengangkutan inilah tulang belakangnya ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa dikerahkan buat menyokong berdirinya dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati dan terus-menerus mempertahankan kemerdekaan itu. Dekatilah golongan pekerja ini! Masuklah klasnya! Dengan klas ini bersama dengan golongan lain, maka klas pekerja seolah-olah akan menjadi klas, sebagai "teras’’ yang dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai kemerdekaan sejati dan mendirikan negara yang cocok dengan kemakmuran sama-rata dan persaudaraan. (Madilog, 1951, hal. 11-12)

Jalan Konfrontasi

Dialektika, bagi Tan Malaka, bukan sekadar jalan pikiran melainkan juga jalan politik: politik konfrontasi. Tan Malaka prihatin dengan jalan negosiasi yang diambil oleh elit pemimpin republik. Baginya, negosiasi hanyalah jalan belakang bagi masuknya kembali kapitalisme-imperialisme Belanda. Tan Malaka membuat catatan khusus terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam perundingan Linggardjati dan Renville. Tan Malaka membahas masalah inti persoalan pada kedua perjanjian tersebut, khususnya pasal 14 yakni pengakuan terhadap hak milik Belanda dan pengakuan terhadap utang negara. Dengan demikian, kedua perjanjian tersebut memberikan jaminan hukum dan berusaha bagi pedagang Balanda untuk menyewa tanah, air untuk perusahaan mereka, buruh dan kuli untuk dikuras tenaga mereka, kuli dan alat pengangkutan untuk membawa semua barang itu ke pantai, ke pulau-pulau lain dan ke dunia di luar Indonesia. Tan Malaka percaya betapa pelaksanaan pasal 14 akan berakibat buruk pada politik luar negeri, keuangan, militer dan kebudayaan Indonesia (Poeze, 2010, hal. 247)

Kesepakatan-kesepakatan tersebut lahir karena elit politik republik seperti Soekarno, Hatta, Amir Sjarifoeddin, dan Sjahrir semua berasal dari kelas borjuasi, mengikuti pendidikan tinggi di Belanda dan bekerja sama dengan imperialisme Belanda di dalam Linggarjati dan Renville. Tan Malaka mengemukakan analisa politikografi terhadap masing-masing tokoh tersebut, khususnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir.  Soekarno dipandang Tan Malaka sebagai orator ulung, namun tidak memiliki cara berpikir dan filsafat revolusioner. Soekarno terlalu dekat dengan Jepang sehingga akan kehilangan kontak dengan massanya. Soekarno pun kembali menjadi borjuasi kecil dan memilih jalan yang paling tidak beresiko. Hatta, menurut Tan Malaka, bukan seorang revolusioner melainkan intelektual pendiam yang membosankan. Hatta tidak memiliki basis massa, dia hanya penghapal teori yang hanya didengar segelintir elit intelektual dari kalangan borjuis kecil. Sama dengan Soekarno, Hatta tidak memiliki sifat Murba dan mengambil jalan tanpa resiko dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Sjahrir bagi Tan Malaka adalah aktor intelektual politik negosiasi dengan kolonialisme Belanda. Sjahrir bertanggungjawab penuh dalam memisahkan babak pertama dan kedua revolusi kemerdekaan, yaitu diplomasi menggantikan aksi massa. Semua itu berakibat pada “keruntuhan republik lahir dan batin, ialah keruntuhan kemiliteran, perekonomian, sosial, politik dan moril” (Poeze, 2010, hal. 246 yang mengutip dari Pendjara III: 84)

Tan Malaka memahami betul bahwa politik bukan jabat tangan melainkan garis tebal yang memisahkan lawan/kawan. Jalan politik bukan negosiasi ekonomi yang menghitung untung/ rugi, jalan moral yang berporos pada baik/jahat atau jalan estetis yang melulu bicara soal indah/buruk (Schmitt, 1932, hal. 27). Malaka menarik garis antara pro-Murba dan anti-Murba, konfrontator dan kolaborator, pro-kapitalisme-imperalisme dan anti-kapitalisme-imperialisme. Elit politik republik pasca proklamasi sangat rentan terseret pada kubu yang bertolak belakang dengan Murba. Apa pun alasan para elit, Tan Malaka berpendapat bahwa konfrontasi total diperlukan untuk  memerdekakan republik baru ini baik secara formal-legal maupun substansial. Kebebasan dari penghisapan kapitalisme-imperialisme Belanda adalah syarat pokok untuk mendirikan republik yang berdikari secara politik, ekonomi dan budaya. Tan Malaka mengatakan,

Beginilah paham saya sebelum dibuang keluar Negara lebih dari 20 tahun yang lampau. Di bawah bendera Dai Nippon paham itu tak bertambah lemah, malah sebaliknya bertambah kuat. Perjuangan nasionalis setelah robohnya PKI (1927), yang dipimpin oleh kaum intelek sudah lebih dari pada cukup memberi bukti yang nyata, bahwa perjuangan yang tiada berdasarkan pekerja-murba tidak akan mendapat Indonesia Merdeka. Sikap keras terhadap para pemimpin prajurit pekerja, jauh lebih kejam dari pada sikap yang diambilnya terhadap para pemimpin nasionalis adalah sikap yang sangatjitu sekali menggambarkan taksirannya imperialisme Belanda terhadap berbagai golongan Masyarakat Indonesia yang mengancam dirinya itu (Madilog, 1951, hal. 11)

Meskipun dikenal kritis terhadap para kolaborator, Tan Malaka sesungguhnya menginginkan adanya persatuan kekuatan-kekuatan politik bangsa demi menghancurkan kolonialisme. Tan Malaka sebagai pimpinan PKI berupaya meyakinkan wakil-wakil kelompok Islam pada Konggres PKI ke-8 untuk bersinergi melawan kolonialisme. Pada Konggres yang dibuka pada tanggal 25 Desember 1921, Tan Malaka berpidato selama enam jam mengenai pentingnya unifikasi gerakan massa (McVey, 2006, hal.115). Dalam pidatonya Tan Malaka membandingkan antara keberhasilan politik non-kooperasi Indian National Conggress dibanding gerakan politik di Indonesia yang terpecah belah. Solidaritas adalah kata kuncinya. Pemerintahan kolonial Inggris tidak berani menangkap Gandhi karena tahu rakyat India bersatu di belakangnya. Di luar dugaan Tan Malaka, respon dari kelompok Islam sangat positif. Kyai Haji Tubagus Hadikusumo, wakil Muhammadyah, menanggapi Tan Malaka dengan mengatakan betapa perjuangan melawan kolonialisme Belanda hanya dapat dituntaskan dengan persatuan rakyat. Beliau mengatakan bahwa mereka yang melawan persatuan adalah kolaborator Belanda dan dapat dicap sebagai musuh Islam. Politik negosiasi Tan Malaka di Konggres ke-8 PKI menghasilkan sesuatu yang positif. Meski ada tantangan kecil di sana sini, semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Peserta sepakat bahwa konggres lanjutan akan diadakan di bulan April 1922 untuk lebih memantapkan aliansi komunis-Islam demi perjuangan melawan kolonialisme. Semua itu membuktikan betapa Tan Malaka, meski kritis terhadap politik negosiasi yang dilakukan elit, sesungguhnya mengidamkan kolaborasi antar kekuatan anti kolonial di Indonesia. Tan Malaka, dapat dikatakan, melakukan negosiasi di dalam dan konfrontasi keluar.
 
Oleh: Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Politik dan Ideologi, Universitas Indonesia)

Makalah ini didiskusikan bersama Forum Studi M@KAR pada peringatan 62 Tahun Hilangnya Tan Malaka di Cilandak, 20 Februari 2011.

Kepustakaan
Schmitt, Carl. The Concept of Political. Chicago, University of Chicago Press: 1996
Poeze, Harry A. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 3: Maret 1947-Agustus1948. Jakarta, Buku Obor: 2010
Malaka, Tan. Madilog. Jakarta, Widjaya: 1951
McVey, Ruth T. The Rise of Indonesian Communism. Singapore, Equinox Publishing: 2006
Zulkifli Arif, et.al (ed.). Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: 2010 


0 komentar:

Posting Komentar