"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Sabtu, 22 Oktober 2011

Sufi Marxis: Gerakan Kultural Baru

Beberapa waktu belakangan diskursus sufi di Indonesia khususnya mengalami naik daun. Hal ini tak terlepas kaitannya dengan perkembangan diskursus spiritualitas dunia sendiri yang belakangan memang marak. Di dunia internasional misalnya berkembang Ibn ‘Arabi Society dan gerakan New Age, untuk menyebut contoh kecil. 

Dalam konteks ini, perkembangan diskursus spiritualitas atau sufisme patut diduga berhubungan erat dengan dimasukkannya disiplin tasawuf dalam bagian konsentrasi keilmuan di fakultas Ushuluddin PTAIN/S se-Indonesia. Selain kenyataan bahwa bagaimanapun kehidupan memang selalu membutuhkan spiritualitas sebagai bagian yang inheren dari diri manusia.

Tetapi, dimasukkannya disiplin tasawuf dalam dunia akademik ini sebetulnya memiliki implikasi menjauhkan tasawuf dari realitas sosial sendiri. Hal ini disebabkan kecenderungan dunia akademik yang berada di menara gading. Meminjam Pierre Bourdieu dengan kritik pedasnya atas kaum akademik yang disebutnya dengan homo academicus, kaum akademik telah menjadi bagian dari aparatus kekuasaan yang mengawetkan body of knowledge dari struktur yang dominatif sehingga mempertahankan kekuasaan kelas borjuasi. Walhasil, jargon bahwa kaum akademik adalah agent of change adalah ilusi belaka.

Berangkat dari realitas ini, tulisan berikut berupaya menawarkan upaya pembaruan atas diskursus tasawuf akademis. Yakni mengawinkan diskursus tasawuf/sufisme dengan diskursus marxisme. Tidak mudah menegakkan basis ontologis bagi pemikiran yang mau saya kemukakan ini sebab ia berupaya menggabungkan dua ranah diskursus sekaligus. Namun, upaya ini bagaimanapun harus dirintis.


Tapi, sebelum itu, pertama-tama saya harus menyatakan dengan tegas bahwa  gagasan ini merupakan hasil pergulatan spiritual dan sosio-kultural saya sendiri. Pada tingkat tertentu, saya merasa bahwa pergulatan ini sudah tuntas dan membawa saya sampai pada gagasan berikut ini. Tulisan ini tak lain adalah sebuah tanggapan dan upaya dalam berhadapan dengan realitas kekinian. Kita telah tiba di masa di mana kondisi posmodernitas yang boleh dibaca juga postradisionalitas menerabas masuk ke lingkungan bahkan tubuh kita. Tak pelak kondisi semacam ini mutlak harus disikapi.

Saya melihat dan mengalami banyak ketidakpuasan yang menghinggapi banyak kalangan anak muda atas kebisuan ideologi keagamaan terhadap realitas sosial, politik dan ekonomi. Namun, ketidakpuasan ini tidak juga secara memuaskan terungkap dalam gerakan sosial keagamaan yang memonopoli kebenaran bagi dirinya sendiri, sebab akan membatasi dan memagari diri dalam kelompok yang arogan. Karena itu, kalangan muda yang ‘tak puas’ ini lebih bersikap terbuka bagi kebenaran kelompok mana pun sepanjang tidak hegemonik, namun yang terpenting mereka jelas murka terhadap adanya penindasan.
           
Namun demikian, saya merasakan bahwa sejauh apa pun kecanggihan alat analisis ekonomi-politik, sosial dan kultural dalam menyingkapkan realitas, pada dasar spiritual tetap hampa. Kita butuh bukan hanya penyingkapan realitas yang menindas, tapi juga ketertindasan kita atas nafsu diri harus pula disingkirkan. Mungkin karena itu saya akan bolak-balik menegaskan pentingnya pembersihan spiritual namun juga menyingkap dan melawan realitas penindasan.
           
Dalam esai berikut ini, saya akan berbicara tentang artikulasi sufi-marxis sebagai gerakan kultural baru. Bagaimanapun, gagasan ini merupakan sebuah panggilan, kalau bukan pukulan, kepada mereka yang hanya berada di belakang meja dan asyik-ma’syuk membincangkan tentang tasawuf tanpa berupaya mengaitkannya dengan realitas sosial yang opresif. Penting diingat bahwa diskursus tasawuf ‘modern’ merupakan anak kandung dari Orientalisme yang menjadi arus disiplin besar dari kolonialisme. Kecenderungan untuk membingkainya dalam menara gading merupakan hasil dari arus utama objektivisme ilmiah. Problem inilah yang menghadang bagi penggiat tasawuf akademik.

Esai ini sekilas akan membincangkan tokoh-tokoh sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah dunia Islam.[1] Napak tilas atas tokoh-tokoh ini penting untuk dilakukan sebagai sebuah upaya pendahuluan sebelum mengarungi genangan arus kritisisme dan skeptisisme total atas segala realitas sosial yang disuarakan marxisme. Tuhan ada dalam-dan-bersama segala sesuatu sekaligus juga melampaui segala sesuatu sebagai keyakinan dasar sufisme menjadi titik dorong utama sebelum menganut garis analisis dan perjuangan merubah realitas sosial ala marxian.

I
       
Saya menganggap bahwa tokoh sufi yang sangat berpengaruh dalam sejarah dunia Islam tak lain adalah al-Hallaj (w. 923).[2] Al-Hallaj merupakan sufi yang melawan otoritas siapa saja. Gerakan subversifnya bukan hanya tertuju pada penguasa atau sultan di satu sisi tapi juga di sisi lain kepada ‘Tuhan’ sendiri. Seperti diketahui, al-Hallaj hidup di masa-masa Kerajaan Abbasiyah. Ia lahir pada pertengahan tahun ketiga sesudah hijrah, di sebuah desa bernama Baidha’ di Persia. Ia mendapatkan banyak pendidikan dari berbagai guru-guru yang terkenal, seperti Sahal bin Abdullah al-Thustari, ‘Amr bin Utsman al-Makky, Abul Husain Nury, Junaid al-Baghdadi dan Umar bin Utsman. Al-Hallaj hidup sebagai pendakwah dan misionaris terutama di Khurasan dan Afghanistan. Pernyataannya ‘Ana’l-Haqq’, ‘Akulah Kebenaran’ atau bisa dibaca juga ‘Akulah Tuhan’ mencuatkan sebuah gelombang panas ke tengah perbincangan publik. Teriakan-teriakannya yang sering dilontarkan di tempat umum ini membuat resah kaum ahli syari’at. Hamid ibn Abbas, Perdana Menteri wilayah Baghdad bersama kaum ahli syari’at akhirnya mengeluarkanFatwa Kufur atas al-Hallaj, dan menyatakan bahwa al-Hallaj secara hukum dapat dihukum mati. Setelah berkali-kali upaya untuk menjaring al-Hallaj, usaha itu akhirnya berhasil. Tapi, memakan tempo bertahun-tahun. Al-Hallaj dihukum pancung dan dibakar di masa kekuasaan al-Muqtadir (908-932).
       
Gagasan al-Hallaj terutama terpusat pada konsep lahut dan nasut. Lahut menunjuk pada Ilahi yang mengandung unsur kemanusiaan. Nasut menunjuk pada insan yang mengandung unsur keilahian. Jadi, berbicara Sang Ilahi dan insan adalah berbicara tentang dua sisi mata uang yang sama. Keduanya tak terpisahkan. Keduanya saling merembesi di mana membahas yang satu mengharuskan membawa pada bahasan atas yang lainnya. Doktrin ketidakterpisahan antara manusia dan tuhan ini yang menjadi batu dasar sufisme belakangan.
           
Lebih jauh, al-Hallaj terhukum karena latar yang kompleks. Klaim persatuannya dengan Tuhan, mukjizat yang ditampilkannya, klaim atas otoritas religius yang lebih besar dari Khalifah dan ulama, hal-hal inilah yang menantang telak bagi kekuasaan. Selain itu, keanggotaannya bersama sekte Qaramithah dan Syi’ah turut menjadi bahan bakar yang menyulut tuduhan keras atasnya. Al-Hallaj memang penantang terhadap kelas-kelas berkuasa bahkan berusaha merobohkan kekuasaan kelas-kelas berkuasa tersebut.
           
Hal menyolok dari narasi al-Hallaj yang patut dicatat di sini adalah perlawanannya terhadap otoritas kekuasaan dengan mengambil sumber otoritas yang lain. Tidak tanggung-tanggung, otoritas kekuasaan yang melacak akarnya kepada otoritas Tuhan dirampas oleh al-Hallaj secara langsung, sehingga kalau sebelumnya kekuasaan berujar bahwa ia adalah bayangan Tuhan di muka bumi, al-Hallaj menegaskan bahwa justru ia sendiri adalah Tuhan. Sudah tentu klaim otoritas yang lebih superior ini menampar kelompok-kelompok yang berkuasa atas nama Tuhan.
           
Tokoh sufi selanjutnya yang penting diangkat adalah Suhrawardi. Syihabuddin al-Suhrawardi, lahir di Aleppo, Syria, pada 1154 dan dihukum mati oleh Saladin pada 1191 atas tuduhan kafir dan demi mengabulkan tuntutan kaum teolog ataupun fuqaha. Dalam narasi mutakhir, Suhrawardi dianggap sebagai orang yang berhasil menggabungkan metode diskursif dan pengalaman-batin sekaligus. Filsafat Suhrawardi terutama didasarkan pada dualisme cahaya dan kegelapan yang ketimuran.[3] Suhrawardi sendiri menyebut aliran filsafatnya sebagai aliran isyrâqi atau filsafat iluminasi. Kata “iluminasi” sendiri bermakna bahwa apabila menyempurnakan diri sendiri, kita bisa mendapat iluminasi dari Asas atau Sumber realitas secara langsung. Suhrawardi mengganti pandangan realitas yang terdiri dari rangkaian objek dengan pandangan realitas sebagai derajat cahaya yang bertingkat. Dia melihat pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu sendiri.[4]
           
Yang menarik, kematian Suhrawardi merupakan hasil dari konspirasi kelompok-kelompok yang berada di lingkar kekuasaan dan cemburu pada kecerdasan dan kejeniusan Suhrawardi. Suhrawardi memang tidak menantang otoritas kekuasaan tapi otoritas keilmuan dan spiritualnya yang tinggi menjadikan penguasa tunduk dan takzim kepadanya. Yang penting digarisbawahi di sini adalah kenyataan bahwa kekuasaan berjalin berkelindan dengan pengetahuan, sehingga—segaris dengan Foucault—harus dibaca dengan mode kekuasaan/pengetahuan.
           
Lebih jauh, saya mengangkat figur sufi di Kalimantan Selatan, yang mitos perlawanannya atas otoritas kekuasaan tampak paralel dengan kasus al-Hallaj. Figur yang saya angkat adalah Abdul Hamid Abulung.[5] Abulung adalah nama sebuah kampung, tempat di mana Abdul Hamid dilahirkan atau menyebarkan gagasannya. Nama kampung ini dilekatkan pada Abdul Hamid, bahkan menjadi ikonik, sehingga dalam panggilan populer ia justru lebih dikenal dengan sebutan Datu Abulung (ada juga yang menyebut Habulung atau Ambulung).
            
Abulung dikenal sebagai penganut dan mengajarkan aliran tasawuf wujudiyah. Aliran wujudiyah ini disebut-sebut sebagai sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani atau lebih ditarik ke atas sampai pada pemikiran al-Jilli, Ibn ‘Arabi, Suhrawardi, al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami.[6] Ideologi wujudiyah pada dasarnya menabrak keyakinan ideologi fuqaha. Pertarungan ideologis inilah yang berujung pada eksekusi Abulung. Konfrontasi kelas antara para fuqaha dengan para sufi yang umum terjadi di dunia Islam tak luput menimpa dan menyebabkan Abulung wafat.
           
Gagasan Abulung yang melihat persatuan Tuhan dengan manusia memang niscaya melanggar batas-batas otoritas yang digariskan kekuasaan. Hubungan yang langsung antara Tuhan dengan manusia tanpa perlu diperantarai otoritas kekuasaan  yang mengatasnamakan Tuhan sendiri tentu saja menjadi subversif. Gagasan ini pada tataran etisnya sebenarnya menyiratkan kritik yang terus menerus terhadap kekuasaan. Kenapa? Karena kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan absolut cenderung untuk korup secara absolut pula, mengutip Lord Acton. Oleh sebab itulah, kekuasaan harus dikritik tanpa henti.

Berbicara lebih jauh tentang diskursus sufi, pada dasarnya kaum sufi menegaskan tentang pentingnya pembersihan diri. Pembersihan diri ini pada gilirannya harus membawa pada pembersihan di-luar-diri. Kebersihan internal mesti menurun pada pembersihan eksternal. Karena itu, refleksi dan kritik-diri menjadi bagian integral dari diskursus sufi. Refleksi dan kritik-diri yang lantas harus dialamatkan pada realitas sosial. Di pihak lain, dalam garis kritisisme yang paralel, kritik atas realitas sosial terutama terkristalisasi pada gagasan marxisme.

II

Kritik paling tajam terhadap realitas sosial datang terutama dari epistemologi marxis. Kaum marxis melihat bahwa realitas sosial adalah realitas yang dipenuhi dengan penindasan oleh kaum dominan terhadap kelompok subordinat. Lalu, pertanyaan yang mengemuka ketika epistemologi marxis ini diperhadapkan dengan epistemologi sufi, tidakkah keduanya ini sangat bertentangan sehingga mustahil untuk dipertemukan? Bukankah upaya mempertemukan keduanya hanya  dan hanya akan berujung pada kegagalan? Keduanya tidak bertemu bukan hanya pada tataran epistemologis, tapi juga di tataran ontologis dan aksiologis. Walhasil, sesungguhnya tulisan ini sia-sia belaka!
           
Pemaparan paling tajam dan ekstensif mengenai keberadaan tradisi marxis yang merupakan ‘filsafat sesat’ bisa dikatakan terkulminasi dalam pemikiran-pemikiran Seyyed Hossein Nasr.[7] Marxisme sebagai ‘filsafat sesat’ bukanlah merupakan aliran yang termasuk dalam ‘hikmah’ dari Islam historis, atau Nasr mungkin lebih senang menyebutnya, Islam tradisional. Dalam bukunya Traditional Islam in the Modern World (1987), Nasr menelusuri perkembangan dan dialektika aliran-aliran pemikiran di dunia Islam termasuk tentu saja Marxisme dan Sosialisme.[8] Nasr melihat bahwa formulasi-formulasi semacam ‘Sosialisme Islami’ atau ‘Marxisme Islami’ semata terkait dengan kepentingan politik. Baginya, formulasi-formulasi itu hanya memuat sintesis-sintesis semu yang berupaya memadukan pandangan Islami dan Marxis, seakan-akan es dan api dapat bersanding secara harmonis.
           
Namun demikian, bagaimanapun, kemustahilan adalah jejaring dari kemungkinan-kemungkinan. Ada lubang-lubang kemungkinan yang menghubungkan epistemologi sufi dan marxis. Jembatan awal yang bisa menghubungkan epistemologi sufi dengan epistemologi marxis ini adalah basisnya pada refleksi dan kritik. Refleksi dan kritik-diri sufi harus dihubungkan dengan refleksi dan kritik sosial marxis.

Persoalan yang menghadang kemudian adalah basis ontologis sufi dan marxis yang bertentangan secara diametris. Ketika kaum sufi menegaskan tentang keperiadaan-kehadiran-dan-kebersamaan Tuhan dalam manusia, – arus (yang dianggap) utama – kaum marxis menandaskan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari keterbatasan manusia. Kaum sufi berkata bahwa Tuhan-hadir-dalam-diri-kita, kaum marxis menukas bahwa Tuhan itu tidak ada. Kaum sufi berujar kenyataan-Tuhan-itu-sangat-jelas, kaum marxis bertutur kenyataan Tuhan itu omong kosong!

 Saya ingin menegaskan bahwa pandangan di atas bersifat menyederhanakan dan reduksionis terhadap kedua tradisi yang ada. Tradisi sufisme maupun marxisme bukanlah tradisi yang monolit dan seragam. Ada banyak arus di dalam kedua tradisi tersebut. Karena keduanya memiliki banyak arus, maka persilangan bahkan perkawinan antara arus-arus tersebut bukanlah hal yang mustahil. Lalu, arus manakah yang memungkinkan pertemuan antara kedua tradisi ini? Arus sufi mana yang bisa ditunjuk bertemu dengan arus marxis?

Sebelum menjawab pertanyaan ini saya mau berkelok sebentar pada persoalan bahasa. Menurut kaum strukturalis, bahasa tidak lain adalah sistem perbedaan tanda.[9] Masing-masing tanda memiliki makna ketika diperhadapkan dengan tanda-tanda lainnya. Misalnya, kata buku tidak bermakna kumpulan kertas yang dijilid jadi satu, tapi ia bermakna ketika dihadapkan dengan kata-kata yang lain itu sendiri, yakni batu, pulpen, jalan, pohon, dlsb. atau kalau dalam konteks ini kertas sendiri malah. Rangkaian sistem perbedaan tanda inilah yang lantas membentuk bahasa. Perbedaan ini sendiri sifatnya arbitrer, manasuka, namun tetap mengandaikan konsensus sosial tertentu.[10]

Lebih jauh, radikalisasi bahasa sebagai sistem perbedaan tanda ke dalam permainan tanda dilakukan lebih jauh oleh kaum pasca-strukturalis. Kalau kaum strukturalis secara ambivalen masih mengakui adanya otoritas dalam bahasa-pertama, kaum pasca-strukturalis menyanggah adanya otoritas bahasa-pertama tersebut. Kaum pasca-strukturalis melihat bahwa sanggahan atas otoritas bahasa-pertama merupakan jalan ke arah demokratisasi makna bahasa. Demokratisasi bahasa inilah yang dirayakan dalam permainan tanda. Barthes menyebut perayaan perbedaan tanda ini sebagai jouissance. 

Pandangan kaum strukturalis dan pasca-strukturalis ini memiliki kesejajaran tertentu dalam tradisi sufi. Kaum sufi melihat bahasa pada dasarnya sebagai sistem simbol. Fungsi simbolik bahasa ini karenanya bisa mengkreasi, memediasi atau pun mendistorsi realitas. Kesadaran akan fungsi simbolik bahasa inilah yang mendorong kaum sufi menciptakan bahasa-bahasa yang puitis dan simbolis sehingga sukar dipahami kecuali mereka yang mendalaminya. Karena itu, kaum sufi sangat menyadari akan fakta bahasa sebagai hasil konstruksi sosial.

Namun, lebih jauh, pada dasarnya, kesadaran akan fungsi simbolik bahasa kaum sufi ini bisa memuncak dalam kesadaran ‘tanpa bahasa’. Kaum sufi bisa saja dengan tanpa beban mengatakan bahwa ‘Tuhan itu tak ada. Yang ada hanyalah Aku’ atau menegaskan penafian tuhan itu sendiri dengan ‘Tuhan itu tak ada sama sekali.’ Kesadaran ‘tanpa bahasa’ inilah yang bagi saya merupakan titik temu dengan  prinsip pasca-strukturalis tentang permainan tanda. Karena itu, dikembalikan ke ranah diskursus sufisme dan marxisme, keduanya bisa bertemu yakni dalam koridor nihilisme sufistik dan nihilisme marxis. Meskipun bisa didebat bahwa pernyataan ‘Tiadanya Tuhan’ kaum sufi berbeda kontras dengan ‘Tiadanya Tuhan’ marxis, namun toh, permainan tanda jelas nampak di sini. Bahasa menjadi ruang permainan tanda habis-habisan. Walhasil, membedakan proposisi ‘Tiadanya Tuhan’ kaum sufi dan marxis adalah sia-sia. Keduanya bisa disamakan dan dibedakan sekaligus. Di titik ini, kita tiba pada persoalan penting, haruskah kita ikut dalam genangan nihilisme total atas segala sesuatu?
           
Seperti saya utarakan di atas, refleksi dan kritik-diri sufi bertemu dengan refleksi dan kritik sosial marxis. Refleksi dan kritik yang mengarah baik ke domain internal maupun eksternal ini tentu saja menyanggah bahwa kita mesti terjebak ke dalam genangan arus nihilisme total. Kenyataan industrialisasi, urbanisasi, kapitalisasi, dan proletarianisasi ‘Dunia Ketiga’ yang hanya menjanjikan penindasan berlipat-lipat adalah hal yang harus dihadapi ketimbang berpangku tangan dalam kemalasan dan keputusasaan nihilistik. Realitas sosial opresif harus dihadapi dengan kekuatan spiritual dan gerakan marxis yang transformatif. Di titik ini, kita dengan mulus bisa beralih kepada bahasan tentang gagasan marxis.
          
III

Kaum marxis sangat dikenal sebagai pengusung gagasan kritis. Meskipun kata ini awalnya diusung oleh Immanuel Kant (1724-1804), pendiri filsafat aliran kritisisme, namun nuansa ikoniknya sangat melekat pada kaum marxis. Kaum marxis dikenal sebagai sangat kritis terutama pada gagasan-gagasan yang tidak membawa pada perubahan sosial. Kata-kata kunci dari Karl Marx (1818-1883), mbah-nya para marxis, ‘Para filsuf hanya menafsirkan dunia, padahal intinya adalah merubahnya,’ memang merupakan spirit kritis utamanya.
           
Saya akan mengulas beberapa tradisi pemikiran marxis, yakni kritik ekonomi-politik dan marxis strukturalis. Gagasan kritik ekonomi-politik terutama bersandar pada keyakinan akan determinisme ekonomi yang materialis. Sejarah sendiri dilihat sebagai hasil dari pergulatan ekonomi dari kelas dominan dan kelas subordinat di mana kelas dominan ‘mengibuli’ kelas subordinat. Dari sini terciptalah metafor terkenal Marx tentang basis-suprastruktur. Basis adalah kepentingan-kepentingan ekonomis yang berisi mode produksi dan relasi produksi. Basis inilah yang menentukan suprastruktur semacam kompleks gagasan seni, budaya, dan politik.

Marx mengungkapkan secara tegas: ‘Dalam produksi sosial yang dilakukan manusia, manusia memasuki relasi-relasi definit yang tak bisa dihindari dan lepas dari kehendak manusia sendiri. Relasi-relasi produksi ini berhubungan dengan tahap perkembangan tertentu kekuatan produksi material mereka. Jumlah total relasi-relasi produksi inilah yang membentuk struktur ekonomi masyarakat—fondasi riil, yang mendorong tegaknya superstruktur legal dan politik dan berhubungan dengan bentuk kesadaran sosial tertentu. Mode produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Jadi, bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, tapi, justru sebaliknya, eksistensi sosial manusialah yang menentukan kesadaran mereka. Pada tahap tertentu dari perkembangan kekuatan-kekuatan produksi material dalam masyarakat ini terjadilah konflik dengan relasi-relasi produksi yang ada, atau—sesuatu yang hanyalah merupakan ekspresi legal untuk relasi produksi yang sama—dengan relasi-relasi hak milik di mana kekuatan produksi sebelumnya bekerja.’[11]
           
Marx secara mendasar melihat bahwa konflik merupakan hakikat dari kenyataan sosial. Konflik ini ingin diatasi oleh kaum berkuasa dengan menciptakan perangkat hukum dan politik yang menguntungkan mereka dan tentu saja merugikan bagi kaum subordinat. Kaum berkuasa ini menciptakan perangkat ideologi (kesadaran palsu), hukum, dan politik (baca: negara) yang membuat rabun dekat demi tujuan dasar mereka yakni kepentingan ekonomis. Basis material atau substruktur ini yang menentukan suprastruktur. Basis material merujuk pada mode produksi tertentu, metode pengorganisasian kehidupan produksi masyarakat. Mode produksi mengasumsikan bentuk-bentuknya yang beragam dalam sejarah (bentuk “antagonistik” Asiatik, kuno, feodal dan borjuis modern), namun pada dasarnya segenap masyarakat didirikan dalam upaya produksi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.[12]

Gagasan-gagasan Marx di atas menyimpan kelebihan dan kelemahan tertentu. Gagasan marxis strukturalis mengisi kekurangan pada gagasan kritik ekonomi politik marxis sebelumnya. Kekurangan ini muncul terutama karena determinisme ekonomis dan positivisme marxis. Tepat pada titik kelemahan inilah pemikiran-pemikiran marxis belakangan berusaha menjawabnya. Tokoh marxis strukturalis ini utamanya adalah Althusser (1918-1900) dan Gramsci (1891-1937). Gagasan Althusser pada pokoknya tercurah pada salah satu konsep penting yakni ideologi. Konsep ini sebenarnya sudah diartikulasikan oleh Marx sebelumnya, namun Althusser menyingkapkan sisi lain yang selama ini tertutupi. Althusser mendedahkan bahwa ideologi bisa sekaligus palsu dan tidak palsu. Di satu sisi, ideologi membentuk pandangan dunia dengan mana orang menghayati dan mengalami dunia. Dalam pengertian ini, ideologi tidaklah palsu karena ia membentuk kategori-kategori dasar dan sistem representasi dengan mana kelompok-kelompok sosial memahami dunia. Ideologi di sini berperan sebagai pengalaman yang dihayati.

Di lain pihak, ideologi juga dikonsepsikan sebagai seperangkat makna yang lebih berkembang yang memaknai dunia (diskursus ideologis) dalam cara yang melakukan misrekognisi dan mispresentasi relasi-relasi kuasa dan kelas. Karena itu, Althusser melihat bahwa ideologi merupakan salah satu dari tiga instansi atau aras utama suatu formasi sosial. Dari sini, ideologi dilihat relatif otonom dari aras lainnya (misalnya ekonomi), kendati pada akhirnya ditentukan oleh aras-aras tersebut. Pendek kata, Althusser memaknai ideologi sebagai ‘sistem (dengan logika dan keketatannya sendiri) representasi (citra, mitos, ide atau konsep)’ yang dikonsepsikan sebagai suatu praktik yang dihayati dan mentransformasikan dunia material.[13] Nampak bahwa gagasan determinisme ekonomis telah digeser oleh otonomi relatif yang menegaskan bahwa ada interrelasi antara superstruktur dan substruktur.
           
Lebih jauh, ideologi sebagai sistem representasi yang memiliki seperangkat makna dan praktik merupakan perhatian dari Gramsci di mana ia menuangkan gagasannya akan hal ini dalam konsepnya tentang hegemoni. Hegemoni, bagi Gramsci, tak lain adalah proses membuat, memapankan dan mereproduksi serangkaian makna dan praktik yang dianggap otoritatif. Hegemoni menyiratkan suatu situasi di mana suatu ‘blok historis’ faksi-faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui serangkaian paksaan dan yang jauh lebih penting, persetujuan. Karena itu, bagi Gramsci, ketika ideologi dimengerti dalam kaitan dengan ide, makna dan praktik yang dinyatakan sebagai kebenaran-kebenaran universal ia merupakan peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial tertentu. Jadi, ideologi tidak terpisah dari aktifitas praktis keseharian tapi merupakan fenomena material yang berakar dalam kondisi sehari-hari. Karena sifatnya yang sehari-hari itu, maka hegemoni mungkin untuk ditandingi (counter-hegemony) dalam tindakan sehari-hari juga.[14] Dari sini, kelihatan bahwa hegemoni ternyata bersifat hubungan relasional dan tidak stabil. Kenyataan ini jelas membuka kemungkinan ruang perlawanan terhadap kekuasaan kelompok dominan.

IV
           
Dari uraian singkat di atas, di akhir kalam ini, saya ingin menegaskan bahwa diskursus tasawuf harus berkolaborasi dengan diskursus marxisme. Masuknya diskursus tasawuf ke dalam diskursus akademik yang ditahbiskan oleh orientalisme sebagai anak kandung kolonial menjadikannya bakal kehilangan semangat transformatifnya sebab tasawuf dikerangkeng dalam menara gading. Persoalan inilah yang mutlak harus dijawab dengan mengembalikan tasawuf ke semangat transformatifnya. Dan, semangat transformasi sosial ini secara esensial terdapat pada marxisme, sehingga walhasil, sufisme plus marxisme adalah tantangan terhadap kebekuan diskursus akademik dan respon atas penindasan struktural dan sosial mutakhir. [ ]


Penulis adalah subjek dari negeri bernama Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan, kelahiran 27 Oktober 1977. Pernah menjabat sebagai Presidium Forum Studi MaKAR (2000-2001) dan redaktur di Diaspora (2001-2003). Sekarang aktif di komunitas JALANG.

________________________________________
[1] Patut ditegaskan bahwa perspektif yang berangkat dari tokoh/hero memang punya kelemahan dalam mendistorsi realitas sejarah. Namun, saya ingin menggarisbawahi bahwa figur hero yang saya angkat di sini tetap merupakan cerminan dari basis kelas sosial di mana dia hidup. Dia hanya kebetulan menjadi ‘tokoh’. Bagaimanapun juga, kesadaran kolektif tetap lebih menentukan daripada kesadaran individu.
[2] Nama lengkapnya Husain Mansur al-Hallaj. Sampai kini karya yang dianggap otoritatif membincangkan al-Hallaj adalah Louis Massignon, La Passion d’ al-Hallaj, (Paris: Paul Geuthner, 1922).
[3] Lihat Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2001) Oktober, h. 129-30.
[4] Lihat Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung: Mizan, 2001).
[5] Dalam materi ini saya bersandar pada tulisan Humaidy, “Tragedi Datu Abulung: Manipulasi Kuasa Atas Agama” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil, Ed. 2, tahun 1, Sept. 2003.
[6] Gagasan utama dari aliran wujudiyah ini tentu saja tak lain dari persatuan antara Tuhan dan manusia. Sandaran ontologisnya adalah narasi tentang kesendirian Tuhan yang mendorongnya untuk menciptakan manusia. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya sendirian, dan memandang diri-Nya dipenuhi segala kemuliaan dan ketinggian. Ia cinta kepada diri-Nya sendiri. Cinta Tuhan ini pada gilirannya merupakan penyebab munculnya wujud dan turunannya yang banyak. Makhluk tidak lain adalah cermin Tuhan ketika Ia ingin melihat diri-Nya, di luar diri-Nya. Karena itu, ketika makhluk memandang dirinya sendiri juga, maka ia akan melihat pada diri Tuhan, sebab keduanya adalah satu jua. Gagasan utama ini mendapat proposisi simboliknya terutama dari ucapan yang oleh kaum sufi disebut sebagai hadis, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (Barangsiapa mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhannya).
[7] Seyyed Hossein Nasr adalah protagonis Islam tradisional di ‘Barat’ yang banyak menulis dan berjasa besar dalam membangkitkan arus sufisme atau mistisisme Islam. Ia sendiri lebih dikenal dengan gagasan Perenialisme-nya yang melihat bahwa semua agama dan tradisi spiritual memiliki jalur-jalur kebenaran yang pada akhirnya memuncak pada Prinsip Ultim. Belakangan aliran filsafat Perenialisme ini mendapatkan posisi intelektual yang cukup kuat di Malaysia. Kelompok ISTAC (Islamic Institute for the Studies of Thought and Civilization) di International Islamic University Malaysia dengan M. Naquib al-Attas sebagai ‘dewa’-nya merupakan gerbong pengusung mazhab Perenialis Islam tersebut. Kemapanan kelompok intelektual ini di dunia akademik, tentu saja merupakan halangan dan bencana bagi kondisi keilmuan yang kritis.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, (London and New York: KPI, 1987).
[9] Lihat Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (London: Methuen, 1977).
[10] Anthony Giddens menangkap ada ambiguitas dalam gagasan de Saussure, pendiri mazhab strukturalis, ketika menyebutkan bahwa bahasa itu pada dasarnya bersifat arbitrer. Di satu sisi ada rujukan pada wacana psikologis yang melihat semuanya berakar pada kategori-kategori yang disusun dalam pikiran, di lain sisi ada referens pada wacana Durkheimian tentang konsensus sosial. Lebih jauh lihat A. Giddens, Social Theories and Modern Socology, (California: Stanford University Press, 1991).
[11] Lihat dalam Marx & Engels, Marx & Engels: Basic Writings on Politics and Philosophy (Introduced by Lewis S. Feuer), (Aylesbury: Fontana/Collins, 1984), h. 84.
[12] Lihat William D. Perdue, Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology (California: Mayfield, 1986) h.315.
[13] Lihat dalam Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, (London: Sage, 2000), h. 56-7.
[14] Ibid., h. 59.

0 komentar:

Posting Komentar