"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Rabu, 26 Oktober 2011

Hitam Putih

Dalam kehidupan ini, berbagai macam warna menghiasi kisah perjalanan makhluk Tuhan khususnya manusia. Ada hitam dan putih, baik dan buruk, atas dan bawah, rakyat dan pejabat, pahala dan dosa dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu memberikan simbol bahwa Tuhanlah yang maha kuasa untuk mengatur sesuai dengan kehendakNya. Tentu tak etis manakala kita memaksakan perbedaan menjadi persamaan karena hal itu mengurangi estetika kehidupan yang seharusnya dinikmati dan dijunjung bersama-sama.

Berapa banyak tindakan intoleransi terjadi di muka bumi ini alih-alih hanya ingin menciptakan persamaan atau menolak perbedaan. Mereka mengira bahwa persamaan itu indah dan damai, Kemudian apa arti kehidupan ini seandainya semua yang ada sama. Agama, gagasan, baju, negara, ideologi sama semua, tentu tak menarik lagi hidup ini bukan?

Suatu ketika, Ustadz Yusuf Mansyur memberikan ceramah agama di majlis taklim, dihadiri mayoritas oleh ibu-ibu dan bapak-bapak. Pengajian itu disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Ia memberikan nasihat kepada para perempuan terutama bagi mereka wanita karir. Menurutnya tak sepantasnya seorang wanita berkorban membuka aurat (tak berjilbab) demi sebuah pekerjaan menjadi teller di sebuah Bank dengan imbalan gaji 1,200.000,00, dari pada mereka bekerja dengan berkorban meninggalkan Syariat Islam, lebih baik duduk di rumah saja.” Demikian nasihat Ustad Yusuf Mansyur terhadap para wanita karir (teller), padahal ia tanpa mengetahui mengapa dan kenapa mereka bekerja, dan seberapa besar beban hidup untuk ditanggulanginya, mungkin saja suaminya telah tiada sehingga beban keluaga dipikul oleh seorang ibu, tentu hal itu tak terlintas manakala ia selalu mengedepankan etika tanpa memahami kronologis kehidupan seseorang di dunia ini.

Tentu kita akan mengatakan bahwa berjilbab bagi seorang wanita muslimah ialah mulia, meskipun demikian, tak seharusnya kita merendahan wanita yang tak berjilbab. Terkait dengan moralitas tergantung kepribadiannya masing-masing, bahkan tak sedikit dari wanita yang berjilbab, justru lebih memprihatinkan kondisi moralitasnya. Nah, ada hal-hal yang tak kita sadari kenapa mereka rela berkorban demi sebuah pekerjaan yang kadang-kadang bertolak belakang dari nilai-nilai Islami. Terkait soal gaji tentu sangat relatif bagi setiap orang. 

Saya sempat membaca tulisan budayawan Gunawan Muhammad, yang mengangkat kisah real seorang ibu (ditinggal suaminya) yang membanting tulang siang dan malam demi memberikan makan, biaya sekolah, beli baju, beli mainan untuk anak-anaknya dengan mengorbankan harga diri sebagai seorang pelacur. Semua itu ia rela lakukan demi anak-anaknya tercinta. Meskipun demikian, tentu tak mengurangi kita untuk menghargai pengorbanan ibu tersebut, bahkan ia ikhlas berlumuran dosa, demi sesuap nasi dan anak-anaknya agar tetap bisa meneruskan sekolahnya. Hemat saya, tentu tak etis manakala kita menghina dan merendahkan martabatnya, sementara kita tak bisa berbuat apapun untuk meringankan beban ibu tersebut.

Tak hanya fenomena di atas, kita yang selalu mengatakan termasuk golongan orang-orang yang beriman dan menjalankan syariat sesuai dengan ketentuanNya, namun dalam praktiknya tak sedikit dari kita justru merusak tatanan alam ini, misalnya dengan menebang hutan sembarangan, membuang sampah semaunya, membuat pencemaran udara dan air di sepanjang hari dll, sehingga mengakibatkan banjir, kebakaran, polusi udara/air dan bencana-bencana lainnya. Sungguh paradoks mengingat bencana-bencana itu adalah ulah manusia yang merasa berintelektual, beriman, beradap dan mempunyai harga diri. Sedangkan kita sering mengklaim kepada golongan ekslusif yang hidup di tengah hutan, tanpa pakaian kecuali menutupi alat vitalnya, primitif, aneh, bodoh, dungu dan tak menjalankan undang-undang atau syariat, namun dalam praktiknya mereka tak pernah menebang hutan, mencemari lingkungan, membakar hutan bahkan mereka yang selama ini menjaga lingkungan agar tetap hijau sehingga tak berpotensi terjadinya bencana alam. “Kata Tuhan bahwa kerusakan di muka bumi ini tak lain disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.” Nah, siapa lagi kalau bukan kita, orang yang mengaku beriman, intelektual dan modern.

Sebagi umat beragama, kita diwajibkan untuk menjalankan syariat sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tuhanpun tidak akan memberikan ujian kepada makhlukNya di luar kapasitas dan kemampuan hamba-hambanya. Meskipun sholat, berjilbab, membaca kitab suci itu dianjurkan oleh Tuhan, namun tak etis seandainya kita memaksakan agar semua orang melaksanakan sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan Tuhanpun tak pernah memaksakan kehendaknya, tentu semua itu mempunyai konsekuensinya masing-masing. Lantas, salahkah seorang Teller bank yang tak berjilbab, seorang ibu rela berlumuran dosa dengan bekerja siang dan malam demi sesuap nasi agar anak-anaknya bisa sekolah, dan golongan manusia primitif yang tak pernah menjalankan syariat Islam? Bukankah nanti akan ada seorang pelacur dan anjing yang akan masuk surga sesuai cerita dalam kitab suci? Pantaskah bagi orang yang merasa beriman namun selalu membuat ulah dimasukan ke Surga? Atau layakkah golongan manusia primitif yang selalu menjaga keseimbangan lingkungan dimasukkan ke Neraka?

Oleh: Muhammad Rosit

Aktivis Forum Studi M@KAR, kini menempuh studi Komunikasi di UI Salemba dan mengajar di UIN Jakarta untuk Ilmu Komunikasi Politik.

0 komentar:

Posting Komentar