"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Sabtu, 29 Oktober 2011

Tentang Amal


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amal diartikan: 1. Perbuatan (baik atau buruk) => ia dihormati orang karena amalnya yang baik, bukan karena kedudukan atau kekayaannya. 2. Perbuatan baik yang mendatangkan pahala (menurut ajaran agama Islam) => berbuat amal kepada fakir miskin; salat adalah amal ibadat manusia kepada Allah. 3. Yang dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, mengumpulkan dana untuk korban bencana alam, penyandang cacat, orang jompo, anak yatim piatu, dsb) => membuka dompet amal = mengumpulkan sumbangan melalui surat kabar untuk menyumbang korban banjir dsb.; penjualan prangko amal; penyelenggaraan pertunjukan amal dst. 
Meski saya pribadi tidak termasuk orang yang suka mengikatkan diri dengan pembakuan kamus dalam memakanai setiap kata, namun tetap mempertimbangkannya sebagai rujukan terutama yang berkaitan dengan lokalitas seperti pemaknaan kata amal dalam kosa kata Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab ini. Dan karena saya juga bukan seorang ahli dalam bidang linguistik, maka saya pun hanya memaknainya sebatas rasa dan perasaan saya yang merupakan endapan dari beragam realitas yang saya hadapi dan selami. Tentu saja hal ini juga sangat dipengaruhi oleh apa-apa yang telah saya baca dan pelajari sebelumnya.

Ya, pada suatu masa dalam periode kehidupan saya, hampir saja saya berputusasa dalam artian yang sesungguhnya. Pada saat itu, amal jenis apa pun yang saya lakukan, saya merasa tidak akan lagi ada gunanya. Lalu saya pun bertemu dengan Syaikh ‘Athaillah Sakandariy yang mengupas panjang lebar tentang amal ini dalam kitabnya Al-Tanwiyr fiy isqathi al-tadbiyr, yang—sebagaimana terjemahan harfiah judulnya—kemudian saya jadikan  panduan atau penerang dalam berusaha. Kitab ini pulalah yang kemudian mendorong saya untuk memberanikan diri mengakrabi kitab Al-Hikam, opus magnum beliau.
Dan aforisma pembukanya yang berbunyi:

من علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزل

Pun langsung saya maknai sebagai: Tanda bagi seseorang yang kelewat subyektif (berlebihan dalam mengekspektasi segala yang telah diperbuatnya), adalah berkurangnya pengharapan terhadap realitas obyektif yang harus dihadapinya saat ia merasa tidak sinkron. (Halaman 1)

Pemaknaan saya yang semacam itu, saya lakukan karena saya membaca aforisma beliau selanjutnya yang berbunyi:

مما يدلك على وجود قهره سبحانه أن حجبك عنه مماليس بموجود معه 

Satu hal yang bisa memberimu pemahaman akan adanya sifat Pemaksa ( القهار ) bagi Allah adalah: Dia menghalangimu dari-Nya, dengan keberadaan sesuatu yang sesungguhnya tak pernah ada. (Halaman 21)

Dan diteruskan dengan:

متى فتح لك باب الفهم فى المنع عاد المنع عينِِ العطاء 

Ketika Dia telah membukakan pintu pemahaman kepadamu akan arti sebuah ketercegahan, (biasanya, ketercegahan ini kita maknai sebagai kegagalan yang menyedihkan), maka (saat itu pula, setelah kita mampu mawasdiri dalam melakukan evaluasi terhadap ikhtiar kita secara holistik), kegagalan (atau istilah motivator; sukses yang tertunda) itu, hakekatnya adalah wujud anugerah  Allah (yang sesuai untuk kita pada masanya). (Halaman: 96)

Dari sinilah kemudian saya berusaha memberikan apresiasi secara positif terhadap mereka  yang memandang realitas obyektif dengan kacamata ala Darwin atau Richard Dawkins di abad ini. Dan apa yang mereka sebut sebagai saintis skriptural, atau yang mereka cibir dengan sebutan  junk science pun saya amini dengan istilah pseudo religious atau spiritualitas semu. Yaitu orang-orang yang berusaha memandang realitas obyektif dengan cara mencocok-cocokkan berbagai doktrin yang tertulis dalam kitab suci dan yang semacamnya dengan cara ilmiah (scientific).

Mengapa demikian? Karena science sejatinya lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apa pun, melainkan dari berbagai percobaan yang dilakukan tanpa mengenal lelah dari beragam observasi atas segala fenomena alam yang telah diinstal oleh Tuhan dengan sedemikian rupa sebagai software. Sementara kitab-kitab suci sesungguhnya disusun hanya berdasarkan oleh suatu bentuk kepercayaan atau iman terhadap keberadaan sesuatu yang adikodrati seperti Sang Pencipta alam semesta ini secara absolute dan tidak memerlukan bukti-bukti empiris sebagai pembenar (tashdiq) atasnya.

Husnudhan saya terhadap orang-orang atheis di atas, secara langsung atau tidak langsung ternyata telah melahirkan kemuakan pada hipokritas kaum beragama. Dan saya tidak merasa perlu untuk menyesalinya, tepatnya bersyukur, karena kenyataan itu justru membukakan pintu ketertarikan bagi saya terhadap kejujuran Ki Ageng Suryomentaram. Seorang bangsawan Jawa yang anti feodalitas, dan tak sampai tergoda menjadi sok ilmiah dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, padahal beliau adalah sahabat dekat Ki Hajar Dewantara yang kemudian kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Dari sinilah kemudian lahir himmah saya untuk mwujudkan Manusia Kuasa, Kuasa Manusia yang tidak hanya sebatas wacana. Karena itu, jika pun nantinya Manusia Kuasa, Kuasa Manusia jadi diterbitkan dalam bentuk buku, itu semata-mata kami lakukan agar para sahabat juga berperan aktif dengan memberikan masukan yang konstruktif untuk memperkaya khazanah kita di masa mendatang.

Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet..!
Tuhan telah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya..!

Ungkapan Friedrich Nietzsche, seorang filsuf kelahiran 5 Oktober 1844 dari Röcken Jerman yang sempat dianggap gila pada masanya itu, yang kemudian memimpikan manusia luhur yang ia sebut sebagai Ubermensch karena telah berhasil “melucuti” kekuasaan Tuhan atasnya dan menjadikan dirinya berkuasa, menurut saya adalah cita-cita mulia yang hingga kini masih membutuhkan keseriusan langkah para penempuh untuk mewujudkannya.

Salam…

Bintaro, 27 Febriari 2011


0 komentar:

Posting Komentar