"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Senin, 24 Oktober 2011

Botol Kosong Berijazah

“Kamu harus sekolah, supaya pintar, … dan jadi orang.” Kata-kata ini kerap terloncat dari orang tua-orang tua kita untuk mendorong agar kita mau sekolah. Seakan-akan kalau tidak sekolah, kita tak akan jadi orang.

Pendidikan formal agaknya merupakan bentuk pendidikan yang paling diinginkan oleh orang tua yang “waras” dewasa ini. Bagaimana tidak? Hanya dengan pendidikan formallah “masa depan”  si anak cukup bisa dipastikan. Lewat pendidikan formal si anak diharapkan bisa memasuki pasar tenaga kerja di sektor industrial masyarakat modern. Tersibak kemungkinan dia bisa menjadi dokter, perawat, dosen, tukang insinyur, hakim, jaksa, tentara, pilot, polisi, sekretaris, dan buruh. Dan, itulah makna kata-kata orang tua kita ketika menyebut kata ‘jadi orang’.

Kapan tepatnya permulaan masa yang bisa dilacak sebagai era formalisasi pendidikan berlangsung di Indonesia? Pertanyaan di atas agaknya akan menemukan jawabnya pada masa ketika penjajahan Belanda mulai mencengkeramkan kukunya di jagad nusantara ini. Ada perbedaan mendasar dalam filosofi pendidikan yang diintrodusir penjajah Belanda dengan filosofi pendidikan yang berkembang sebelumnya. Pada masa-masa sebelumnya, dunia pendidikan Indonesia tradisional lebih berkisar pada spektrum spiritual (keagamaan) yang bersumber baik dari agama lokal maupun agama-agama besar seperti Hindu, Budha, maupun Islam.

Jadi, tujuan utamanya lebih mengarah pada usaha memenuhi kebutuhan adanya generasi penerus yang siap mengambil peran-peran sosial kemasyarakatan dalam konteks budaya tradisional masyarakat yang agraris. Sementara itu, pendidikan modern yang diintrodusir penjajah Belanda lebih berlingkung di spektrum material yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan memenuhi pasar kerja sektor industrial modern pasca agraris. Meminjam Oom Weber, ranah pendidikan diupayakan membentuk subjek yang sesuai dengan kondisi masyarakat gesellschaft, sebagai ganti gemeinschaft. Di zaman Belanda (sampai kini), dunia pendidikan modern ini tercermin pada adanya pabrik-pabrik, perkebunan, kantor-kantor komersial dan administrasi pemerintahan. Nampak di sini bahwa filosofi dunia pendidikan bergeser dari semula memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi mengisi kebutuhan penguasa, yakni mencetak tenaga terampil (profesional) untuk tujuan-tujuan pembangunan ekonomi industrial. Seiring dengan ini kultur yang bernama modernitas pun ditahbiskan.

Sebagai penandanya yang terpenting dibikinlah penanda formal yang menyatakan tingkat pendidikan yang diperoleh si peserta didik. Penanda formal ini terdapat pada secarik kertas yang menulis-absahkan tingkat pendidikan si pemegang kertas tersebut; itulah yang disebut dengan ijazah atau diploma. Ijazah ini dikeluarkan oleh lembaga sekolah yang resmi atau paling tidak diakui oleh pemerintah. Makna diakui ini boleh dibaca sebagai sah untuk mengisi peran-peran yang dibutuhkan oleh birokrasi pemerintahan. Era ‘pengijazahan’ inilah yang bisa dilihat sebagai masa formalisasi pendidikan.

Sampai saat ini, di Indonesia, dalam konteks negara dunia ketiga, ijazah sarjana masih dianggap memiliki nilai penghargaan sosial tinggi. Ada privilese dan kewibawaan di dalamnya. Memang, ijazah sarjana masih tetap dianggap sebagai sesuatu yang hebat, agung. Seakan-akan orang yang kuliah adalah manusia besar di antara sekian manusia. Pendidikan tinggi ini memiliki aura kehormatan yang diagungkan. Dengan alasan berpendidikan tinggi orang bisa menduduki jabatan-jabatan sosial yang berpengaruh di masyarakat. Bahkan meskipun tak memegang jabatan apa pun orang bisa saja dihormati hanya karena gelarnya semata.

Tetapi, meski pendidikan tinggi memiliki prestise sosial, ironisnya seringkali si “tukang sarjana” memiliki mentalitas yang kasarnya tak berbeda dengan mentalitas pekerja pabrik. Fungsi sosial yang sering dibangga-banggakan sebagai ‘agent of social change’, ‘man of analysis’, dll., hanyalah hiasan bibir semata. Keberadaannya tak ubahnya seperti bidak catur, baut bagi mesin besar dalam sistem raksasa kapitalisme.

Inilah memang, ruwet dan repotnya berbicara tentang dunia pendidikan. Ternyata, dari sejak awal brojol-nya modernitas, dunia pendidikan dikonstruk untuk melayani kebutuhan modernitas sendiri. Modernitas yang bersetubuh dengan kolonialisme, industrialisme, dan kapitalisme. Tak pelak, konstruksi dunia pendidikan yang berkembang pun sarat dengan ideologi-ideologi Barat ini. Apalagi ditambah kenyataan arus global transnasionalisasi pendidikan yang membuncah ke mana-mana. Dalam era kapitalisme global yang tak terbendung kini betapa dunia pendidikan Indonesia kian tersungkur dan ringkih dalam menghidupi masyarakatnya. Beberapa kejadian terakhir semacam pengesahan UU Sisdiknas dan jalur khusus masuk kampus unggulan menjadi indikasi kuat tentang gamang dan goyahnya dunia pendidikan kita. Di tengah derasnya proses arus transnasional pendidikan, para elit politik masih bersibuk ria dengan perdebatan tentang identitas keagamaan guru dalam pengajaran agama, dengan para pendukung yang beradu jotos di jalanan.

Kenyataan ini menunjukkan betapa carut-marutnya dunia pendidikan Indonesia. Carut-marut yang beroperasi baik padasoftware maupun hardware-nya. Pada level software, perundang-undangan tentang pendidikan yang sarat warna pertarungan politik-ideologis, hardware-nya tak memiliki visi pendidikan yang memihak dan mencerdaskan rakyat kecil. Pada ujungnya, pendidikan hanya menjadi proyek profit-oriented bagi kapitalis besar maupun kecil (baca: kabir, kapitalis birokrat). Muncul proyek untuk pengadaan buku-buku ajar yang seragam, proyek pengadaan seragam, penyeragaman sepatu nasional, dll. yang tujuannya proyek untuk mengisi kantong-kantong sendiri. Memang, di sini nampak kurang ajarnya kapitalisme. Ia merasuk ke mana-mana. Pendidikan yang dirasukinya, jelas tak bakalan menciptakan sistem yang menguntungkan bagi subjek. Sebaliknya, justru subjek itu dikeruk uangnya, didiamkan otaknya, dibodohkan nalarnya, diseragamkan pola pikirnya, dibikin patuh bak prajurit, dijahit bibirnya, dan dihadiahi gelar yang membuat terlena. Program NKK/BKK yang dilancarkan Daoed Joesoef cukup memiliki “dosa asal” juga di sini.

Ironisnya, perhatian terhadap dunia pendidikan kita yang carut-marut ini tak pernah fokus. Misalnya, pemerintah yang menyatakan niatnya untuk mengalokasikan 20 persen dari budjet negara kepada pendidikan tak mendekati kenyataan. Alokasi dana pendidikan hanya sekitar 2,8 persen pada tahun 1998 dan tidak lebih dari 5 persen pada budjet negara tahun 2000. Tak perlu heran, kalau ternyata peringkat kualitas pendidikan Indonesia hanya 109 (dari 174 negara), menurut UNICEF (2000).

Sementara dunia pendidikan terintegrasi ke dalam pasar bebas akibat dicabutnya subsidi oleh negara, fenomena ketidakberdayaan ekonomi masyarakat menggantung di sudut lain. Pendidikan semakin naik ke atas angin, sementara mata pencaharian semakin terpelesak. Kapitalisme pendidikan berhadapan dengan krisis ekonomi masyarakat. Di tengah-tengahnya terjepitlah mahasiswa yang hanya menjadi objek eksploitasi karena ia dianggap sebagai kantong uang yang bisa dikeruk oleh kabir pendidikan. Selain itu juga menciptakan diskriminasi karena penciptaan jurang antara mahasiswa yang menempuh jalur khusus dan jalur konvensional.

Sampai titik ini, tak sedikit pihak yang mengutuk kenyataan dunia pendidikan kita yang acak-adul ini. Sampai-sampai ada yang mempertanyakan mengapa sistem pendidikan kita harus diorganisasi negara sedemikian rupa. Pada awalnya, tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi individu. Pendidikan diorganisir sebagai mekanisme pembangun kapasitas untuk memastikan, memberdayakan, dan memfasilitasi kemajuan individu berkaitan dengan budaya, etika dan kebaikan umum. Namun, dalam perspektif lain, yang lantas menjadi sangat kuat dan dominan, pemahaman bahwa pendidikan merupakan pelatihan persiapan untuk memasuki pasar kerja dan memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Inilah akibat langsung dari cara baru pengorganisasian masyarakat, yang niscaya dituntut oleh ekonomi politik globalisasi modern dewasa ini. Pendidikan hanya menjadi komoditas; dijual dan diperdagangkan secara bebas.

Meminjam ilustrasi Paulo Freire, pendidikan yang dirasuki kapitalisme hanyalah menciptakan pendidikan gaya bank. Relasi yang dibangun adalah subjek-objek, penindas-tertindas, majikan-bawahan, tuan-budak. Kesadaran ontologisnya dikonstruk dalam pola mengada adalah memiliki, khas kesadaran penindas. Memiliki berarti menguasai. Lebih jauh, konstruksi kesadaran yang terbentuk hanya kesadaran penindas atau menjadi tertindas. Para peserta didik hanya menjadi sasaran dalam kehidupan. Kesadarannya adalah kesadaran yang mengalami dehumanisasi. Ia tak pernah dijadikan subjek. Ia tak pernah jadi pelaku. Ia tak pernah diarahkan menjadi manusia (human), sebaliknya kemanusiaannya tergerus terus menerus. Sisanya boleh jadi hanyalah seonggok benda.

Para peserta didik diumpamakan sebagai botol kosong yang hanya bisa menerima dan  menerima. Konsep pendidikan gaya bank mengkondisikan guru sebagai makhluk segala tahu. Ketika guru berbicara, murid duduk patuh mendengarkan. Ketika guru mengajar, murid tunduk diajar; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bercerita, murid pendengar setia yang patuh; guru menentukan peraturan, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihan, murid harus setuju; guru berbuat, murid membayangkan berbuat sama; guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid hanya patuh mengikuti; guru mencampuradukkan otoritas ilmu dan jabatan, murid dibatasi jadi bebek angonan. Murid tak pernah dilibatkan dalam dialektika keilmuan. Begitu terus menerus sampai si murid lulus dan dikasih ijazah. Tak pelak kultur pendidikan semacam ini menciptakan manusia-manusia yang kemudian bermental konsumeris, miskin mental produsen. Pelayan bagi produksi massal industri pendidikan. Kapitalisme pendidikan hanya memunculkan botol-botol kosong yang berijazah. Atau kalau pun ada isinya, hanya semata hasil dari pompaan seperti layaknya bensin yang disalurkan ke tangkinya.

Realitas dunia pendidikan yang centang perenang merupakan hasil dari aktivitas kebudayaan yang beroperasi baik pada level pikiran maupun tindakan. Namun, yang menjadi karakter utama dari aktivitas kebudayaan ini adalah prakteknya yang dilakukan sehari-hari. Dengan praktek sehari-hari, suatu tindakan tertentu yang dilakukan berulang-ulang tapi rutin, akan menjadicommon sense. Pada titik ini, pelan namun pasti dikaitkan dengan konteks pendidikan, budaya pendidikan yang menjadi ranah konstruksi politik-ideologis rezim, menjadi terbentuk. Tak heran, meminjam Barthes, tokoh semiotika post-strukturalis, kehidupan sehari-hari tidak lain adalah kehidupan yang sarat dengan tindakan-tindakan ideologis.

Pendidikan Indonesia masih jauh dari upaya memanusiakan manusia. Yang terjadi hanyalah memposisikan manusia sebagai benda, bukan makhluk yang berpikir. Inilah fenomena kapitalisme yang menerpa dunia pendidikan.

Namun demikian, mungkinkah meretas jalan keluar? Freire yang merupakan salah satu kritikus paling berpengaruh terhadap fenomena kapitalisme pendidikan ini dikenal sebagai ikon pendidikan pembebasan. Freire mempertautkan konsep pendidikannya dengan revolusi. Baginya dibutuhkan pendidikan revolusi yang berkualitas sebagai aksi kebudayaan yang pada gilirannya menjadi revolusi kebudayaan. Freire sangat menekankan posisi kebudayaan sebagai faktor yang menentukan. Dengan mengubah pola pendidikan dari kebudayaan yang antidialogis menjadi kebudayaan dialogis diharapkan akan terjadi perubahan pada level kebudayaan pendidikan.

Saat ini, fakta kultural pendidikan diwarnai kebudayaan antidialogis yang merupakan unsur dasar pembentuk kapitalisme pendidikan. Namun, di sini juga dunia pendidikan ini sebagai faktor kultural bisa diubah dengan “revolusi kebudayaan”. Terma terakhir ini mengambil masyarakat secara total untuk direkonstruksi, termasuk semua aktivitas manusia, sebagai objek aksi konstruksi ulang. Masyarakat tidak dapat direkonstruksi secara mekanistis, ia dibentuk lewat aksi kultural. Kebudayaan yang diciptakan kembali secara-kebudayaan melalui revolusi inilah sarana dasar bagi rekonstruksi ini. Hal ini mesti terlaksana secara konkret dalam level praktek sehari-hari. Konkretnya adalah dengan tindakan dialogis yang meliputi kerjasama, persatuan, organisasi dan sintesa kebudayaan. [RB]


Data-data:
- Ilustrasi dari R. Sutomo dalam Polemik Kebudayaan. Jurnal ini memuat artikel polemik dari kalangan yang bergiat dalam bidang pendidikan di masa kolonial antara pertengahan tahun 30-an sampai pertengahan tahun 40-an.
“Anak-anak dari sekolah desa tercerai dari anak-anak sekolah standaard, sedang anak-anak dari sekolahan HIS atau ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi daripada anak-anak lainnya.
[…] Orang akan heran bahwa mereka yang disebut pertama itu biasa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan anak-anak kita zaman sekarang hanyalah akan mencari pemburuhan, kebanyakan.” (Kebijakan Kebud Di Masa Orba (KK DMOB), h. 55)
 - Pendidikan tradisional yang berbeda dengan pendidikan modern yang diintrodusir penjajah Belanda (KKDMOB, h. 188)
 - Ariel Heryanto, “Globalisasi: dari Buruh sampai Mahaguru”, Tempo, 6 Juli 2003
 - Yanuar Nugroho, “Indonesia’s education system faces disaster,” The Jakarta Post, Friday, July 4, 2003.
 - Benny Susetyo, “Eksploitasi, Diskriminasi dan Komersialisasi Pendidikan,” Kompas Cyber Media, Jumat, 27 Juni 2003.
 - Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jak, 2000, Cet. 3.
Tulisan ini dimuat di dalam Diaspora edis gua lupa deh, pokoknya ada.

0 komentar:

Posting Komentar