"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Rabu, 26 Oktober 2011

Homo Apelicus Erectus

Banyak yang histeris reaksionis bronkitis saat orang ini mati, entah apa yang menjadikannya begitu mempesona sehingga untuk ikut berduka dan kehilangan menjadikannya trendi. Sedangkan jutaan yang lain mati karena kelaparan, perang, ataupun oleh ketidakadilan yang tercipta oleh busuknya sistem, namun terlihat baik-baik saja dan wajar! Ironis. Saat ada yang meregang nyawa karena mogok makan untuk mempertahankan hidupnya, saat kombatan yang mati ditembak polisi karena gak rela tanahnya menjadi tambang, bahkan tetangga yang harus makan dari nasi aking menjadi terlalu "wajar" untuk dibawa ke ruang merakit citra ini. Satu mati jutaan menangis, jutaan mati tak ada yang menangis! Oh society, apple bless you all...

Introduksi pada Posmodernisme: Kisah Sebuah Apel dan Para Pemujanya

(~ dari diary PAM)

“Oh, pakai BB sekarang?”

“Iya. Pakai BB juga?”

“Oh, aku sih pake iPhone.”

Aku yang duduk di tengah-tengah antara kedua perempuan tersebut menggaruk leherku. Tak ada gatal apapun pada leherku, entah mengapa aku hanya kesal pada perempuan di samping kiriku. Perempuan seperti dirinya, yang tak memiliki aktivitas apapun selain kerja administratif di kantor menggunakan iPhone. Mungkin aku kesal karena ia yang mengatakan hal tersebut. Mungkin aku kesal karena sesaat sebelumnya ia membanggakan dirinya yang memiliki kamera tipe SLR merk Canon, sesuatu yang sama sekali tak dibutuhkan oleh dirinya yang tipe pembosan dan bergaya layaknya socialita posmodern urban lainnya. Mungkin aku kesal... entahlah, atau mungkin aku justru kasihan?

Jutaan rupiah dikeluarkan untuk bisa menggenggam iPhone di tangannya. Aku tidak paham untuk apa, saat apa yang ia lakukan tak lebih dari mengirimkan SMS, menelfon atau terkadang mengganti status di Facebook atau Twitter, setelah seharian di tempat kerjanya ia juga berhadap dengan komputer yang berjejaring melalui internet. Dan aku juga tahu benar, suaminya membanting tulang siang malam nyaris tanpa henti, demi mengais rejeki. Suaminya beberapa kali juga mengeluh padaku betapa ia hanya memiliki sedikit waktu untuk anak-anaknya karena ia harus bekerja keras. Dan dengan kenyataan seperti semua itu, perempuan ini masih dapat berbangga diri karena memiliki Canon SLR, iPhone... aku masih tak bisa paham.

***

Bulan Mei lalu, di kamar hotelku di Bayview, aku selalu melakukan sarapan sambil menonton televisi, mempelajari berita-berita dan laporan lokal tentang Hong Kong dan juga Cina lebih luasnya, dalam salah satu upayaku untuk dapat lebih mengenali negeri tersebut—selain berbincang langsung dengan orang-orang di jalanan tentu. Melalui siaran-siaran berita lokal, aku sadar bahwa ada satu dari beberapa berita yang selalu diulang-ulang dan tampaknya menjadi topik terhangat saat itu. Kawasan yang menjadi simbol keajaiban ekonomi Cina: Shenzhen, di mana Foxconn, sebuah pabrik raksasa di mana Apple diproduksi, diguncang tragedi. Dalam kurun waktu enam bulan, 11 kasus bunuh diri hadir bertubi-tubi di kalangan para pekerjanya. Setidaknya, rata-rata tiap bulan ada dua kasus.

Terry Gou, boss utama Foxconn, mengatakan bahwa hal tersebut adalah fenomena sosial yang seharusnya tak dilimpahkan bebannya hanya kepada Foxconn. Ia dengan segera mengadakan konferensi pers yang dihadiri lebih dari 200 media massa utama Cina sebelum segalanya menjadi bertambah buruk. Betapa tidak? Protes mulai hadir di sana-sini dari kalangan serikat pekerja yang mulai merembet ke tingkat internasional. Seruan boikot terhadap Apple bahkan telah mulai muncul walau masih samar pada peluncuran resmi iPad, yang jelas cukup membuat pihak Apple jengah dan menekan Foxconn. Gou, orang ketiga terkaya di Taiwan, hadir dikelilingi para pengawal bersenjata. Ia mengatakan, modernisasi memang mendorong orang untuk memeluk nilai-nilai baru. Mereka yang tak dapat beradaptasi, akan merasa depresi. Bunuh diri adalah fenomena sosial yang tak terelakkan, karenanya tidak layak apabila semua kesalahan ditimpakan pada Foxconn. Begitu ia berujar. Hanya dalam kurun waktu 24 jam setelah ia melakukan konferensi pers di pabriknya, dua orang pekerja lagi menyambut pernyataan Gou tersebut dengan melakukan aksi bunuh diri. Korban bertambah dalam sekejap menjadi 13.

Para sosiolog terkemuka di Cina menyatakan bahwa pabrik Foxconn memperlakukan para pekerjanya di luar batas. Tak memiliki pilihan lain yang mampu memberikan harapan, para pekerja memilih bunuh diri. 13 orang dalam satu tahun di satu tempat yang sama, bukanlah sesuatu yang wajar. Gou menampik, ia telah mempekerjakan 2000 orang tenaga psikiater dan bimbingan, ia juga membangun kolam renang dan arena rekreasi yang didisain khusus bagi para pekerjanya yang berjumlah sekitar 400.000 orang. Semua itu didisain untuk meringankan beban psikologis para pekerjanya. Menanggapi pernyataan tersebut, seperti yang diliput oleh sebuah harian nasional Cina, seorang pekerja berkata, “Bagaimana kami bisa berenang saat kami hanya diberi waktu 30 menit untuk makan siang, itu pun sudah termasuk waktu yang harus kami tempuh dari tempat kerja kami ke kafetaria dan juga waktu untuk mengantri? Saat kami juga harus meninggalkan tempat kerja begitu jam kerja usai dan kami begitu kelelahan?”

*****

“Aku abis 20 juta lebih buat dapetin iMac ini. Begitu nanti kamu datang lagi, di kantorku bakal ada iMac dong, lebih gampang ntar kalo kamu ngasihin file buat dicetak.”

Wajahnya tampak riang. Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Aku hanya tersenyum dan menanggapi pendek, “Lagi bagus ya usahamu?”

Ia masih tersenyum. “Enggak juga sih. Biasa aja. Aku nyicil kok tiap bulannya.”

“Emang komputer lamamu lagi bermasalah? Atau Macbook-mu ngadat?”

Ia masih juga tersenyum. “Enggak. Pengen aja.”

“Saya sih nggak pernah komplain dengan kualitas hasil cetakmu, atau juga cara kerjamu. Selama ini baik-baik aja. Kamu malah yang sering ngeluhin soal pendapatanmu yang nggak seberapa.”

Senyumnya mulai menipis. Ia menggaruk kepalanya yang pasti tidak gatal. “Iya sih.”

“Jadi ngapain kamu musti keluar duit begitu banyak, musti nyicil tiap bulan dari pendapatanmu yang katamu nggak seberapa, buat bisa majang iMac di kantormu?”

Sungguh. Aku tidak berniat kasar padanya. Aku hanya lelah setelah nyaris dalam dua bulan terakhir ini, Jackie, terus menerus membahas betapa ia membutuhkan iMac dengan layar lebar. Aku hanya lelah, karena ia tak pernah membahas padaku mengapa ia membutuhkannya, saat semua hasil kerjanya selama ini baik dan akurat. Aku hanya lelah, karena ia selalu mengeluh betapa pendapatannya tiap bulan tak seberapa. Saat aku melihat senyumnya memudar, entah dari mana asalnya, sebersit perasaan bersalah merambati hatiku.

“Maap, maap. Nggak niat gimana juga. Toh saya juga pakai iMac buat nyelesein kerjaan ini,” ujarku, berusaha membuatnya kembali riang dengan cara membandingkan kesamaannya dengan diriku. Tak ada poin apapun untuk membuatnya murung.

Mungkin malaikat menutup tirai bagiku saat itu. Aku terlalu lancang berkata-kata untuk orang yang setiap harinya dilalui dengan rutinitas yang membosankan, yang dalam hidupnya, barang baru adalah satu-satunya pengharapan dan pencerahan. Aku salah. Tapi tampaknya aku memang terlambat menyadari. Di hadapanku, Jackie terdiam dan menunduk. Senyum telah lenyap sama sekali dari wajahnya. Ia bergumam pelan.

“Nggak apa-apa. Iya juga sih, benernya ngapain ya aku keluar duit banyak gitu cuman karna yang itu merk-nya Mac.”

Tetap saja aku merasa bersalah. Macbook di pangkuankupun kubuka perlahan dan kunyalakan dalam suasana hati yang tak nyaman.

*****

Bulan Mei lalu pula, seorang teknisi Silicon Valley, Gizmodo, diserang oleh pihak Apple karena mempublikasikan melalui blognya deskripsi mengenai iPhone generasi ke-4, setelah ia menemukan perangkat tersebut di sebuah taman dalam sebuah pesta bir. Gizmodo mengembalikan iPhone tersebut pada pihak Apple, tapi pihak Apple tampaknya masih tak puas. Mereka masih mencari-cari cara untuk terus melancarkan perang. Empat hari kemudian, polisi menggerebek kediaman seorang reporter yang menanggapi tulisan Gizmodo, mempublikasikan melalui medianya dan membuat seluruh penggila gadget negeri tersebut beradu argumen teknis seputar iPhone tersebut.

Kasus Gizmodo, bukanlah satu-satunya skandal dan perang yang dilancarkan oleh Apple. Apple secara terbuka menyatakan permusuhannya dengan Google, Apple menuntut HTC, perusahaan Taiwan pemroduksi ponsel, menuduh HTC menggunakan pola produksi yang telah dimiliki hak patennya oleh Apple. Apple juga belum lama memecat salah satu teknisinya karena ia sekedar memperlihatkan iPad 3G pada Steve Wozniak, sang pendiri Apple sendiri. Dan perang terburuk terjadi dengan Adobe. Apple menolak program Adobe Flash diaplikasikan pada iPhone dan iPad, padahal Adobe Flash nyaris digunakan oleh mayoritas video di internet. Entah apa yang akan dikeluhkan pada pengguna iPhone dan iPad nanti dengan adanya sikap demikian. Tapi mungkin saja malah tak ada keluhan apa-apa. Mungkin saja. Mengapa tidak? Banyak orang yang kulihat dan kutemui di sekitar hidupku, menggunakan Apple, bukan karena fasilitas, kemampuan atau apapun yang ditawarkan oleh Apple, melainkan karena Apple adalah hip tersendiri.

*****

Tahun pertama aku bekerja di Jakarta ini, sang manager di tempatku bekerja adalah juga seorang penggila Apple. Setidaknya, ia sering membanding-bandingkan antara Apple dan PC, yang tentu saja dengan dibumbui kalimat-kalimat seperti, “Memang Apple ini keren ya?”. Boss kami berdua, yang dulu sering menghabiskan waktu bersama sang manager untuk berbagai urusan, juga membeli Macbook. Aku menebak, bahwa ia pasti membelinya lebih karena terpengaruh oleh puja-puji sang manager atas Apple. Aku sadar beberapa bulan setelahnya, bahwa boss-ku tersebut tidak terlalu paham mengenai hal-hal seputar gadget. Ia hanya butuh laptop untuk mengetik, menyusun jadwal, membaca dan mengirim e-mail dalam frekwensi yang intens. Tak lebih. Hal-hal yang kini mungkin ia sadar, sehingga ia memang menggantungkan dirinya pada Blackberry—karena semua yang ia butuhkan telah terpenuhi oleh gadget tersebut.

Tapi ada hal baik yang muncul dari dari kasus sang boss dan Apple: Macbook yang tak pernah ia sentuh itu ia serahkan padaku, untuk kubawa dan kugunakan manakala aku membutuhkannya. Sang boss juga menyerahkan iPod—yang tentu ia beli dulu akibat terpengaruh promosi sang manager—untuk kugunakan. Maka jadilah aku kini, hanya perlu tambahan iPhone atau iPad, lengkap tampil seperti seorang penggila Apple. Sayangnya, bagiku membawa-bawa laptop kemana aku pergi, adalah hal yang merepotkan. Aku juga lebih memilih menikmati suara-suara yang dihasilkan oleh suasana sekelilingku, baik itu di taman yang rindang, mall, kafe ataupun di tengah bisingnya Metromini, dibandingkan mendengarkan musik dari mp3 melalui earphone—aku hanya memasang mp3 kala aku di rumahku, kamar kost atau kala aku sedang bekerja. Satu-satunya hal yang kusukai dari menggunakan Apple adalah bahwa virus atau worm tidak mampu menggerogotinya—dan aku terlalu malas untuk mulai belajar menggunakan Linux.

Jackie pernah berkata padaku, bagaimana apabila kita menggunakan iMac, maka aktivitas berselancar di internet juga terbantu dengan maksimal. Aku bertanya padanya, apakah ia menggunakan Indosat 3GP yang seringkali kecepatannya turun, sebagai sumber koneksi internetnya? Ia hanya memberiku cengiran dan menggeleng. Secara tak langsung, ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya berlaku apabila koneksi internet kita juga baik. Aku hanya bisa menghela nafas.

Di sekitarku, mayoritas para penggunanya, merasa dirinya rendah dan bukan siapa-siapa. Saat mereka menenteng produk tertentu dengan logo buah apel melekat di permukaannya, mereka merasa telah menjadi seseorang. Menyedihkan memang. Tapi rasanya tidak adil juga apabila aku lantas mempersalahkan atau menyudutkan mereka, setelah hidup mereka tak memberi arti apapun dan memiliki logo apel adalah salah satu penyelamatan mereka walau hanya sementara. Aku tidak lagi kesal pada mereka. Aku hanya merasa sedih...

Aku jadi teringat saat isteriku pernah berkata tentang sebuah status di Twitter yang menurutnya menarik. Status tersebut tertulis: “I like the time better when apple and blackberry were merely fruits.”

Mengapa fasisme telah menubuh sedemikian rupa dalam teknologi?

Dapatkah teknologi menghapus fasisme dalam tubuhnya sendiri? Kenapa semakin laku dibeli dan diminati, teknologi apa pun semakin fasis? Kenapa pula teknologi tidak netral? Di tangan siapakah teknologi akan netral? Apa di tangan balita dan anak TK? :)

Oleh Acha Ramadina Putri
Aktivis Forum Studi M@KAR yang juara Bassis di Kampus. Kini menetap di Jalan Pajajaran, Bogor.

0 komentar:

Posting Komentar