"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Rabu, 26 Oktober 2011

Anak, Masa Depan Kita

Jika anak lahir tanpa membawa apapun, tentunya hal tersebut tidak terlalu tepat. Anak lahir membawa emosi-emosi dasar yang ia miliki.

Saat bayi, anak sudah memiliki rasa senang, misalnya ia tertawa saat orang di sekitar menggodanya. Bayi juga sudah memiliki rasa sedih, marah, kesal. Saat ada hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, seperti saat ia lapar, haus, popoknya basah, dan sebagainya.

Hal tersebut tentu adalah emosi yang dimiliki sejak lahir (given). Namun, apakah saat sang bayi tumbuh menjadi anak kecil kemudian ia hanya memiliki emosi-emosi itu saja?

Tentu tidak, sebagai orang dewasa yang berada di sekitar anak kecil, secara tidak langsung mempunyai tanggung jawab membantu mereka menemukan emosi-emosi positif, sehingga emosi anak perlu terus dikembangkan dalam kehidupannya.

Apakah anak bisa berkata "maaf aku salah" atau "terima kasih ya, sudah membantu," dengan sendirinya?

Tentu tidak, mereka akan meniru orang dewasa di sekitarnya. Hal tersebutlah yang terlewat dari pendidikan kita.

Saat kita sebagai murid, kita kurang mendapat kepekaan sisi-sisi kemanusiaan sebagai manusia. Kita menjadi murid pasif, tidak bisa bertindak apapun. Semua dominasi guru. Perkembangan sosialisasi jadi  terhambat. Di sekolah tidak menemukan ruang pemaknaan, pendidikan jadi terasa hampa. Semua senantiasa hal-hal kaku, monoton. Hadir ke sekolah, duduk, diam, catat, main, pulang.



Bebaskan Anak Bermain

Saat bermain, anak justru belajar banyak. Perhatikan saat mereka bermain. Sesekali ada benturan antarmereka. Misalnya rebutan mainan, tidak mau bergantian, berkata kasar. Hal-hal tersebut akan menjadi pembelajaran bermakna bagi anak saat orang dewasa sekitarnya mampu membimbing mereka memecahkan masalah. Kita perlu ingat, membimbing bukan membantu. Membimbing adalah sebuah cara dimana orang dewasa hanya berperan sebagai fasilitator yang mencoba memahami masalah anak.

Bagaimana kita bisa pahami masalah anak? Tentunya dengan mengajukan pertanyaan. Bukan dengan memberikan pernyataan. Misalnya, anak rebutan mainan. Orang dewasa acapkali melihat masalah dari sudut pandang mereka sendiri. Kemudian memberikan penyataan "heh udah jangan rebutan, kamu salah. Jangan narik mainan dia," padahal orang dewasa sendiri belum tahu alasan apa yang membuat mereka rebutan mainan? Alangkah bijaknya bila kita memulai dengan bertanya, "ada apa ini? Atau apa yang terjadi? Bagaimana agar bermainnya bisa menyenangkan?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan contoh sangat sederhana untuk membimbing anak berpikir mandiri saat menemukan masalah dan jalan keluar.

Jika diingat, apakah pernah kita mendapatkan pengalaman seperti itu di sekolah?
Hmmm… Rasanya tidak. 

Manusia makhluk sosial yang mendayagunakan komunikasi dalam keseharian. Sebagai mahluk sosial, umumnya manusia berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal. Di sekolah, anak jarang atau bahkan sama sekali tidak dibimbing untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Apakah dengan menggunakan intonasi yang tepat, pemilihan kata, misalnya.

Menurut Vigotsky, menjadikan anak berpikir mandiri adalah tujuan belajar. Dan penggunaan bahasa adalah kunci utamanya. Dalam hal ini anak-anak harus didorong menggunakan bahasa dalam mengekspresikan perasaannya. Misalnya, saat Jarwo kesal dengan Abi (hehe… ini nama teman-teman diskusi, teman cela-celaan). Karena Abi terus meledeknya kurus, item, hidup lagi. Nah, Jarwo langsung memukul Abi. Tentunya jika Abi dan Jarwo sudah dewasa hal tersebut tidak tepat dilakukan. Namun, bagaimana jika Abi dan Jarwo masih anak-anak? Misalnya kelas 1 SD. Bagaimana?

Dalam situasi seperti ini, Jarwo memilih memukul Abi karena Jarwo berpikir hanya itulah cara yang tepat menyelesaikan masalah. Ini asal muasalnya tindak kekerasan, dan orang dewasa sekitarnya tidak membimbingnya. Malah bilang "Abi, pukul balik kalau dipukul" atau Jarwo yang dimarah-marahin karena mukul Abi.

Bimbing Anak Selesaikan Masalah

Anak perlu bimbingan dan perhatian besar dalam hal semacam ini. Kita bisa mulai dengan membawa Abi dan Jarwo duduk bersama. Kemudian, bungkukan badan kita sesuai tinggi badan anak-anak.  Bisa jongkok. Mata kita harus menatap mata mereka.

Kemudian mulai dengan pertanyaan "apa yg terjadi?"
Berikan aturan agar bicara bergantian. Biasanya masing-masing akan membela diri dan berebut bicara.
Pertanyaan berikutnya, "Jarwo mengapa memukul?"
Asumsinya Jarwo akan bilang , "abisnya aku dibilang kurus, item, jelek, hidup lagi."
Kemudian kita balik bertanya pada Abi, "Abi, bener kamu bilang gitu? Kenapa?"
Lalu Abi mungkin akan bilang , "aku iseng aja Bu, pengen ledekin Jarwo."
Kita bisa tanya lagi, "apa perasaan Abi, saat ada orang meledek kamu, Abi?"
Umumnya, anak akan menjawab "sedih/kesel."  
Saat ini kita membimbing Abi berempati pada Jarwo, "Itulah perasaan Jarwo, saat kamu meledeknya."
Namun apa yang salah di sini?
Jarwo memilih cara menghadapinya dengan kekerasan, dia memukul. Kita coba memahami perasaan Jarwo, "Jarwo kamu kesel ya? Sedih ya? Dibilang item, kurus, hidup lagi? Adakah cara lain yang bisa kamu pilih selain memukul Abi? Kamu bisa bilang apa sama Abi biar dia nggak meledek kamu terus?" Nah, pada proses ini kita membimbing Jarwo untuk menggunakan lisannya dalam mengungkapkan perasaanya, "aku nggak suka diledekin. Hentikan, jangan lakukan itu."

Dengan cara ini anak dibimbing memecahkan masalah tidak dengan kekerasan, melainkan dengan ucapan terlebih dahulu. Setelah Jarwo dan Abi mengungkapkan pikiran dan perasaanya, kita bisa tahu motivasi apa sehingga mereka melakukan itu. Untuk menutup proses ini kita bisa bertanya kepada keduanya, "Jarwo, Abi apa yang bisa kalian lakukan agar menjadi teman kembali dan dapat bermain bersama?" Kita fasilitasi mereka agar saling bermaafan. Bukan dengan berkata, "udah, ayo saling maafan. Salaman."

Dalam buku cerita untuk anak-anak, berjudul "STOP. Jangan Ganggu Aku," diceritakan tahapan mengatasi masalah jika ada orang lain menggangu kita. Anak-anak butuh bimbingan menerapkan hal tersebut. Jika sesuatu membuatmu terganggu, hal pertama yang dilakukan, hiraukan, setelah masih menggangu juga, kita bisa bilang, "aku nggak mau diganggu, STOP jangan ganggu aku!" Jika tetap diganggu juga, saat inilah mereka butuh orang dewasa di sekitarnya. Namun, cara memberitahu pada guru/orang tua belum tentu selesaikan masalah. Hal ini perlu dilakukan karena kerjadian ini sering sekali. Anak jadi pengadu sebelum mereka coba untuk mengatasi masalah tersebut.

Dengan cara-cara terbaik, kita menginginkan anak kita jadi yang terbaik. Anak adalah masa depan kita. Bantu mereka temukan diri mereka melalui belajar cara berkomunikasi yang baik dan tepat. Bimbing mereka memilih cara-cara dialogis memecahkan masalahnya. Jika sejak dini membiasakannya mengungkapkan perasaan, pikiran dengan cara yang baik, tentu esok, mungkin di kemudian hari, 20 tahun lagi, saat mereka sebagai mahasiswa, kalau demonstrasi ya nggak rusak-rusakan, nggak mukul-mukul, nggak berkata kasar.

Mudah-mudahan kekerasan bisa berangsur berkurang saat semua orang dewasa berpikir untuk terlibat sebagai orang yang bertanggung jawab membimbing anak-anak dalam memecahkan masalahnya melalui proses komunikasi.

Hayooo… Sebelum punya anak, cari tahu dulu gimana cara membimbingnya.. Karena anak, amanah Allah yang paling indah.. ^.^

Oleh: Isma Bonita Sari
Aktivis Forum Studi M@KAR, kini mengajar di Sekolah Dasar Gemala Ananda, Fatmawati Jakarta Selatan.

0 komentar:

Posting Komentar