"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Rabu, 26 Oktober 2011

Modus Kekerasan

Suara jangkrik terlibat dalam perbincangan malam itu. Cahaya bulan meremang menembus kaca jendela kontrakan. Hembusan angin malam mengelus tubuh kami, menambah mesra untuk saling bercerita. Kukira, sayup-sayup samar suara kami terdengar tetangga, kadang berbumbu gelak canda-tawa. Kami berkumpul seperti biasa, menceritakan pengalaman masing-masing.

Semuanya berawal dari keinginan temanku untuk menguasai ilmu kanuragan membuatnya harus berguru pada perguruan silat terlebih dahulu, sebut saja ilmu seni bela diri. Tepatnya, perguruan silat beraliran putih berdasarkan tirakat batin. Beragam rintangan, pantangan dan ujian harus dilewati dengan kesabaran dan penuh ikhlas.

 Di luar dugaan, ia bercerita hampir dua jam sendiri. Telak, bagi yang menyukai kisahnya mendengarkan penuh hikmat. Tetapi bagi yang tidak, mereka terhempas dalam rayuan tubuh yang juga butuh istirahat.

Di tengah-tengah redupan mata melihat, ia spontan memeragakan kemampuan menggerakkan benda-benda di sekitar. Tiba-tiba saja, tanpa disentuh, teko’ berisi air terangkat dan menuangkan isinya ke cangkir. Dan, cangkir itu bergerak perlahan seolah memperkenankanku untuk minum. Kami, benar-benar terkejut.

“Aku bersyukur kalau ada kebaikan datang tanpa harus menggoda atau tergoda perempuan,” tegasnya sembari menjelaskan kalau menggoda ataupun tergoda perempuan merupakan pantangan pokok baginya.

Bukan ilustrasi itu yang hendak kupaparkan di sini. Ia hanya dijadikan contoh untuk melihat bagaimana pengalaman mempelajari seni ilmu bela diri, tidak harus dengan kekerasan.

***

Ikhwal perilaku kekerasan yang terjadi belakangan ini, boleh jadi melahirkan pertanyaan berantai dalam pikiran kita. Adakah hubungannya antara kekerasan dengan mempertahankan diri, agresifitas atau kekerasan sebagai modus pengamanan terhadap kelangsungan hidup? Apakah pengalaman teman di atas bisa dikategorikan sebagai cara mempertahankan diri dengan cara yang berbeda untuk menjaga kelangsungan diri? Lantas, kenapa bela diri dan apa hubunganya dengan kekerasan?

Tindak kekerasan yang tampil secara langsung maupun tidak, setidaknya telah membuka mata kita, apa yang sebenarnya terjadi? apa penyebabnya? Ruwet memang. Namun bukan berarti berhenti dan hanya membuka mata, tanpa bertindak apa-apa. Tulisan ini akan berupaya membongkar, kekerasan sebagai modus eksistensi manusia yang tampil menunjukkan dirinya pada yang lain. Kalau dicari dan ditarik akarnya, semoga bisa mengidentifikasi potensi dan penanggulangannya. Apakah bisa? Mudah-mudahan.

Kekerasan Menyentuh Siapa Saja dan di Mana Saja

Tindak kekerasan bisa menyerang siapa saja, hadir di manapun. Tak terkecuali yang dianggap paling aman sekalipun. Bahkan, dalam kegembiraan dan kesenangan, kekerasan biasa dan senantiasa hadir. Individu maupun kelompok, dalam segala kegiatannya, terbuka untuk kekerasan.

Laki, perempuan, anak atau orang dewasa, tokoh atau orang biasa, sama saja. Ketika kekerasan terjadi, ada subjek dan ada objek yang dikenakan kekerasan. Lantas, bagaimana memahaminya? Apa yang menjadi sasarannya? Melalui pendekatan psikologi, dapat dimengerti bahwa kekerasan bisa timbul dari dalam diri manusia, atau bisa saja berada di luar, menyentuh kita. Menyentuh luar dalam kita.

Kekerasan berakar pada dorongan agresif, yang sadar atau tidak sadar, tersimpan dalam diri kita sebagai manusia yang harus bertahan hidup dalam lingkungan yang sepenuhnya tidak mungkin bebas dari ancaman. Demikian Fuad Hassan menjelaskan: Bagi manusia, kesungguhan bertahan hidup merupakan awal perkembangannya untuk mendewasakan diri. Mempertahankan (survival) adalah prasyarat yang mendahului eksistensi manusiawi.

Perjuangan mempertahankan diri dalam pengertian teori evolusi, bukan sekadar berlangsung untuk bertahan hidup. Perjuangan manusia, tidak sepenuhnya terjerat pada kondisi alamiah dan tuntutan biologis semata, namun juga berlaku bagi tiap mahluk hidup lain.

Dalam keterjeratan, reaksi yang terjadi masih sangat berpola sederhana, terhadap kenyataan di sekitar yang umumnya berupa mendekati atau menghindari. Kedua pola reaksi tersebut, bisa berupa pengalaman senang atau sakit (pleasure or pain). Tentu dengan tingkat intensitas yang beragam.

Kenyataan yang terjadi, bisa dilihat sebagai bentuk mengancam dan terhadap sesuatu ancaman reaksi mahluk hidup berupa berkelahi atau melarikan diri; keduanya terjadi untuk bertahan hidup. Berkelahi, dianggap sebagai sumber ancaman, dapat ditumpas dan dilumpuhkan dengan melarikan diri, maka ancaman berupa tindak kekerasan dapat dihindari.

Yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lain adalah karena ia tidak selamanya berada dalam jeratan kenyataan dan ketidaknyataan seperti ingatan-ingatan atau khayalan. Dalam perkembangan menuju penyempurnaan, manusia melampaui tahapan kehidupan yang serba naluri. Dan nurani mengarahkan manusia pada pelestarikan keberlangsungan hidup. Ini sejalan dengan kesanggupan untuk memerdekakan diri dari ikatan-ikatan.

Kemampuan mentransendenkan diri manusia sebagai bentuk pengendalian dorongan agresif adalah penjelmaan nalurinya untuk meyalurkan agresifitasnya lewat beragam cara serta dalam batas-batas yang masih ditolerir oleh citarasa masyarakat.

Naluri terejawantah dalam perilaku agresif tidak begitu saja dapat dihilangkan, namun bisa dikendalikan. Oleh karena itu, perilaku agresif tidak bisa ditindas sepenuhnya. Manusia tidak saja tumbuh secara fisiologis, tapi juga berkembang di tingkat kejiwaan. Yang diamati, tidak hanya pertumbuhan fisiologisnya saja, melainkan juga perkembangan yang terjadi pada jiwa.

Perkembangan jiwa akan mendukung manusia dalam kesiapannya menjadi pribadi yang khas dan unik. Untuk menjadi dewasa, manusia mengaktualisikan dirinya sebagai pribadi di masyarakat, berwujud ikhtiar untuk tetap maju dan bertahan sebagai pribadi dengan identitasnya sendiri. Ciri pribadi dewasa, adalah kesungguhannya untuk senantiasa berkembang mekar hingga sanggup menunjukkan isyarat kemandiriannya.

Dorongan agresif menjelma menjadi tindakan kekerasan, tetapi tidak semua penjelmaan dorongan agresif tampil sebagai tindakan berciri kekerasan. Berbeda dengan penjelmaan naluri hewani, manusia dewasa sanggup meyalurkan dorongan nalurinya melalui perilaku dan tindakan di masyarakat. Bahkan lebih dari itu, kehadiran naluri diupayakan tersalur melalui perilaku dan tindakan yang bagi diriya sendiri dapat diterima. Dalam menyalurkan nalurinya, manusia dibatasi oleh rambu-rambu.

Rambu-rambu tersebut bisa berupa hubungan antara manusia dengan kenyataan eksternalnya, maupun manusia dengan keberadaan diri dengan kenyataan internalnya seperti nurani sebagai suara batin diri sendiri.

***

Manusia yang dilanda kehampaan spiritual, sungguh memprihatinkan. Kemajuan positivisme ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad Pencerahan di Eropa, belum sanggup memenuhi kebutuhan fundamental manusia dalam aspek nilai transendental, suatu kebutuhan vital yang hanya bisa didapat dan bersumber dari nilai-nilai mutlak yang harus diamalkan.

Sedangkan, apa yang bisa diperoleh manusia tanpa mentransendenkan dirinya? Hanya berupa jurang-jurang dan batas-batas nisbi. Mungkin, salah satu penyebab kedangkalan manusia mentransendenkan dirinya adalah ilmu pengetahuan yang kehilangan visi sesungguhnya, yakni visi memanusiakan manusia. Jelas, caranya bukan dengan jalan agresi kekerasan, menegasikan yang lain, penjajahan atau sejenisnya.

Perhatian yang utama baik terhadap lingkungan maupun diri sendiri dalam relasinya membuka jalan bagi kelangsungan kehidupan bersama. Manusia sebagai mahluk pembawa obor pengetahuan, namun justru tampak sebagai pencipta kerusakan.

Jaman yang dianggap maju, modern dan menghargai peradaban justru tampil sebagai sangkar besi terhadap indahnya kehidupan yang rukun dan damai. Kesadaran pribadi; bahwa pentingnya keterbukaan dan pengendalian diri merupakan cara menjaga keharmonisan kehidupan. Keberlangsungan kehidupan, tergantung bagaimana manusianya. Memang, banyak faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan hadir dalam kehidupan, tapi banyak juga cara menyelesaikan persoalan tersebut.

Dominasi kekerasan yang kerap dialami manusia menyebabkan hilangnya kepekaan terhadap kekerasan. Sungguh mencemaskan sekaligus menggemaskan, ketika media massa, baik cetak maupun elektronik mempertontonkan adegan kekerasan. Social learning terjadi. Bagaimana dampak psikologi penonton yang belum cukup siap baik mental maupun usia? Seperti anak-anak, apakah harus didampingi terus menerus ketika asyik menonton TV?

Dengan dalih kebebasan pers bisa dijadikan legitimasi untuk mengulang-ulang bahasa kekerasan. Tentu media massa juga dilihat sebagai industri yang juga harus menghidupi pekerja-pekerjanya. Sebagaimana industri pada umumnya, juga dilihat mencari keuntungan dan kehormatan sebesar-besarnya; hingga mungkin lupa bahwa telah melakukan eksploitasi publik dengan bahasa kekerasan yang lain. Maaf kalau penulis keliru menilai (salah membongkar).

Lantas, bagaimana cara praktis untuk mengidentifikasi kekerasan, kemudian memperkirakan potensi-potensi yang diakibatkannya. Kepentingan dunia bukanlah kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Individu dalam kepentingan ruang publik yang kita alami sebagai warga dan yang hanya bisa diperoleh dengan berbuat melebihi kepentingan kita.

Sebagai warga, kita memiliki ruang publik, tetapi, kepentingan adalah milik ruang publik, milik ruang yang kita huni bersama “tanpa memilikinya,” milik ruang yang melebihi batasan jangka hidup dan tujuan pribadi kita yang terbatas.

Hannah Arendt mengilustrasikan kepentingan publik, ia melihat kegiatan manusia sebagai warga sebagai juri. Sebagai juri, kita berpegang pada kepentingan kebenaran permainan serta kejujuran publik. Itu bukanlah kepentingan pribadi kita, maupun kepentingan pribadi yang merasa tercerahkan, melainkan kepentingan komunitas politik yang mengatur beragam persoalan dengan dasar aturan dan prosedur konstitusional.

Kepentingan publik berwujud berupa konstitusi untuk mengatasi kepentingan pribadi kita sebagai individu. Secara etis, kejujuran dan imparsialitas adalah tuntutan warga harus ditegakkan.

Kembali untuk Kembali

TIDAK BIASA, ada juga kekhawatiran tidak bisa-tapi memang perlu mencoba. Begitulah pengalaman temanku ketika mempelajari ilmu bela diri. Sepuluh tahun melawan hasrat membunuh apapun, mengendalikan diri dan tidak makan dalam tiga hari hanya untuk mengukuhkan kesaktiannya. Makan saja tidak, apalagi merokok atau ngopi yang manjadi kegemarannya. Tampak menyedihkan rasanya.

Namun alhasil, sekarang ia sanggup menguasai apa yang menjadi mimpinya dulu. Kini bukan lagi angan, tapi pertanyaan-pertanyaan telah terjawab. Prasangka tidak sanggup atau cemas pada kegagalan, terbukti dikalahkan oleh kekuatan tekad.

Bukankah, menjaga diri berarti menjaga kehidupan? Spirit pembebasan, bukan untuk meniadakan yang lain, dimulai dengan melawan kuasa diri yang meracuni diri lain dan kehidupan. Walau tindakan yang dilakukan sekadar berupa amalan, menyebut kata-kata Agung nan Suci, sekadar kata, bukan Wujud sebenarnya, kini mengisi dada.

Namun merasakan dampaknya seakan hadir sebagai pusaka. Kata temanku, “kata-kata telah mengendalikan kita.” Bersemayam menguasai diri. Seni ilmu bela diri hanya upaya membela diri untuk melawan diri. Benda pusaka yang dulu menjadi bagian dari mimpi, kini menjadi miliknya di hati sahaja. Tidak untuk melawan mahluk hidup lain. Bahkan nyamuk, semut, kecoa sekalipun, pantang dilenyapkan.

Sesuatu yang besar, harus dari yang kecil-kecil. Mulanya, kita hanya membayangkan betapa hebatnya kakak bisa membaca, kemudian kita belajar melafal huruf demi huruf, kata demi kata, kata dirangkai menjadi kalimat, kalimat dirangkai menjadi paragraf, antarparagraf disatupadukan berupa pengertian khusus. Hingga membawa pesan dan makna. Sampai-sampai kita bisa membaca dan menggoreskan arti dan makna, berupa makna kehidupan, melalui lembaran kitab kenyataan.

0 komentar:

Posting Komentar