"politics without principle, wealth without work, pleasure without conscience, knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice." (Seven Social Sins, Mahatma Gandhi - 1925).

Kamis, 20 Oktober 2011

Masyarakat & Manusia Ideal

Masyarakat ideal dalam Islam disebut ummah. Konsep ummah mengakomodir seraya mengatasi keterbatasan semua konsep sejenis—yang dalam berbagai bahasa serta budaya menunjuk pada penggolongan manusia: ”komunitas”, ”masyarakat”, ”rakyat”, “bangsa”, “orang”, “suku”, “klan”, ”gerakan”, ”kolektif”, dan sebagainya. Semua konsep ini sesungguhnya satu, sudah terangkum dalam istilah ummah—sebuah konsep ideal dengan gradasi makna eklektik dan fleksibel (baca: dapat dipahami secara terbuka maupun tertutup),[1] serta dijiwai dengan semangat progresif, mengandung arti bergerak atau aktif, mengandung pandangan sosial yang dinamis dan ”berkomitmen ideologis.”

Kata ummah berasal dari akar kata amm (amma-ya’ummu), dapat berarti: ”jalan, maksud-tujuan, menuju, menjadi, keikutsertaan-partisipasi, juga gerakan”. Maka dengan mengacu pada pemaknaan demikian, ummah dapat dipahami sebagai suatu masyarakat di mana individu-individu, berkeyakinan serta bertujuan sama, terhimpun dan bersatu secara sukarela, berpartisipasi harmonis, dengan niatan untuk maju berjama’ah dan bergerak ke arah tujuan bersama.

Pendapat-pendapat lain dalam soal penggolongan umat manusia dan kelompok masyarakat mengandung unsur-unsur diskriminatif dan hirarkis—menggunakan kriteria ras, ikatan-pertalian darah, kepemilikan tanah/benda dan pembagian keuntungan material. Tapi istilah ummah sangat berbeda, tidak mengandung unsur-unsur rasial dan feodal semacam itu. Dengan memilih gagasan ummah, Islam telah menegaskan suatu tanggung jawab sosial serta intelektual, dan merekomendasikan suatu gerakan bersama (jama’ah, afinitas, afiliasi, kolektif) sebagai bagian mendasar dari filsafat sosialnya.

Infrastruktur ummah adalah ekonomi;[2] karena secara sederhana, “jika manusia tidak mencukupi kehidupan duniawi, tentu ia pun akan kesulitan dan terhambat dalam menjalani kehidupan ruhaniah.” Sistem sosial dari ummah didasarkan pada kesetaraan, kesamaan, keadilan; tidak boleh ada monopoli individual. Kepemilikan sumber-sumber kehidupan tertentu, semuanya berada di tangan rakyat (bukan di tangan pejabat negara atau penguasa dan kaum elit). Inilah karakteristik utama “sistem Habil”[3]yang mesti wujud kembali, di mana suatu masyarakat bergerak dengan semangat kebersamaan, kesetaraan, kesamaan antar manusia, dan oleh karenanya, juga hidup dalam spirit kekeluargaan-persaudaraan; dengan demikian, ini berarti pula masyarakat tanpa kelas (non-hirarki, tanpa kasta). Hal tersebut merupakan sebuah prinsip dasar, suatu prinsipalitas eksistensi masyarakat sejati; bukan merupakan tujuan sebagaimana dalam sosialisme Barat—yang sekalipun berbeda dalam cara (metode), tetapi pada hakikatnya, berpandangan serupa dengan prinsip utama serta cita-cita kaum borjuis-kapitalis Barat.[4]

Filsafat politik dan bentuk “pemerintahan” dalam ummah bukan demokrasi menurut perhitungan kepala (baca juga: bukan demokrasi representasional-perwakilan-kepartaian). Tidak pula demokrasi berdasarkan liberalisme, karena paham ini keterlaluan miskin dari tanggung jawab sosial dan moral, membuat masyarakat hilang arah—tidak menentu lantaran dipermainkan elit-elit dengan kekuatan-kekuatan sosial yang saling bersebrangan, chaotik tanpa tujuan. Kemudian, bukan pula aristokrasi busuk (otoritarian) maupun diktator ploretariat, dan bukan oligarki kalangan tertentu. Ummah lebih dari sekadar “kemurnian-kepemimpinan” (sangat menolak tegas gagasan satu pemimpin—karena ini jelas fasisme), ummah didasarkan pada kepemimpinan revolusioner kolektif (tanpa perwakilan; langsung diprakarsai rakyat banyak), di mana segenap individu partisipan bertanggungjawab dalam pergerakan, serta mengambil peran mengembangkan masyarakat dengan mandiri sesuai pandangan dunia tauhid;[5] aktif bertanggungjawab dalam merealisasikan fitrah manusia sejalan rencana penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi. Inilah sesungguhnya makna imamah sejati![6]

Catatan kaki:
[*] Terjemah bebas “The Ideal Society—the Umma,” dalam kumpulan kuliah Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam. Berkeley: Mizan Press, 1979, hlm. 119-120.

[1] Al-Quran menyebut kata ummah dalam berbagai bentuknya sebanyak 64 kali. Lima puluh satu buah di antaranya tercantum pada ayat-ayat Makkiyah. Sekalipun saling bersangkut-paut satu sama lain, terdapat karakteristik masing-masing antara ayat Makkiyah dan Madaniyah. Pada ayat-ayat Makkiyah, penggunaan kata ummah-umam lebih banyak mengacu kepada gagasan soal kesatuan dengan mengakomodir berbagai kelompok primordial masyarakat, termasuk kepada aksentuasi titik temu berbagai kepercayaan dalam masyarakat. Sementara penggunaan kata ummah-umam pada ayat-ayat Madaniyah, banyak dihubungkan dengan peradaban. [pen., dari beberapa sumber Studi al-Qur’an]

[2] Ali Syari’ati memang kerap meminjam retorika Marxis. Tetapi maksud serta pendasarannya sangat berbeda. Ia tidak mengikuti paham determinisme ekonomi Marxian. Bagi Syari’ati, ekonomi bukan suatu faktor determinan, melainkan lebih merupakan faktor pendukung, untuk masyarakat mencapai ”tujuan-tujuan non-material” [...] Penjelasan lebih spesifik tentang krtitik Syari’ati terhadap determinisme ekonomi [serta berbagai hal lain menyangkut diskursus Marxisme-Komunisme-Sosialisme dan sejumlah ideologi Barat lain], terdapat dalam kumpulan karangannya dengan judul, Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique. Penting kita baca jika kita menginginkan penjelasan mendalam. [pen.]

[3] “Sistem Habil” dijelaskan Syari’ati dalam tulisannya, “The Philosophy of History: Cain and Abel.” [pen]

[4] Lebih lanjut, buku Syari’ati dengan judul, Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, menunjukkan analisis tajam mengenai persoalan ini. [pen.]

[5] Tentang pandangan dunia tauhid, dijelaskan Syari’ati dalam tulisannya, “The World-View of Tauhid.” [pen]

[6] Buku hasil kumpulan kuliah Syari’ati dengan judul, Ummah and Imamah, memperjelas perkara ini dengan proporsional. [pen.]


II

Manusia Ideal—Khalifah Allah[*]


Manusia ideal ialah manusia teomorfis (“sadar akan keilahian”); ia selalu berjuang melawan dorongan negatif, hingga Allah SWT memenangkan dan menyelamatkan dia dari sisi buruk dirinya (basyar) yang bersangkutan dengan tipudaya Iblis maupun dengan dominasi “unsur tanah” (sifat kotor atau rendah) dan “unsur sedimental” (sifat pasif, stagnan, mandeg).[1] Dia telah terbebaskan dari keraguan, kebimbangan, juga dari kontradiksi antara “dua infinitas” (“dorongan baik dan dorongan buruk”) dalam pribadinya sebagai manusia. “Keseluruhan akhlaknya menjadi sejalan dengan sifat-sifat Allah SWT” (tidak lagi mengacu pada sistem etika manusia yang serba relatif); inilah sejatinya totalitas filsafat pendidikan kita, utuh menyeluruh, lengkap; standar tunggal kita! Hal tersebut merupakan suatu negasi terhadap semua sistem baku maupun standar konvensional; kerena demi pencapaian kemanusiaan sempurna, akhlak memang mesti sejalan dengan atribusi, karakteristik, dan sifat-sifat Allah. Manusia ideal berakhlak demikian, ia terus bergerak maju ke sasaran mutlak dan mengarah kepada kesempurnaan absolut, bertujuan kepada yang abadi, tak berhingga, bukan mengacu kepada banalitas atau prototipe manusia kerumunan maupun pembingkaian pribadi seragam.

Manusia demikian, manusia unggul, merangkap dua dimensi: membumi, sekaligus melangit seumpama burung yang berkemampuan terbang tinggi menjelajahi cakrawala dengan kedua sayapnya. Dia bukanlah produk dari kebudayaan dan peradaban mana pun yang mencetak manusia-manusia secara fragmentaris atau terpisah satu sama lain di mana ada kelas sosial atau kasta, maupun terdapat segregasi peran antara kelompok manusia “bijak” (filosof, intelektual, agamawan, dsb), kelompok manusia kuat (militer, kesatria, prajurit, dsb), dan kelompok manusia bawah (sudra, paria, tukang, buruh, dsb). Peradaban-peradaban dengan hirarki macam demikian, mengandung ketimpangan antar manusia: di satu pihak terdapat manusia tulus dan saleh namun lemah pemikiran; pada satu pihak lagi, ada kelompok cerdik pandai dengan pengaruh luas, tetapi hati serta jiwanya bobrok dan picik (oportunis), pun tangan mereka penuh dosa; sedang di lain pihak, terdapat kelompok manusia yang hidup hariannya hanya dicurahkan pada kehidupan batin, keakhiratan, kerohanian, dan ada pula orang-orang yang total mengabdikan diri pada keindahan serta kesenian, akan tetapi sayang, kedua golongan ini kebanyakan miskin secara material, terhina dan lemah secara politik; sebagaimana halnya ratusan ribu pertapa India pada zaman kolonial, dianugrahi kapasitas ruhani luar biasa beserta kepekaan perasaan sebegitu rupa, namun melulu dipermainkan dan dijadikan bahan olok-olok yang amat menyedihkan oleh kaum penjajah Inggris, bahkan ditawan, dipenjara, disiksa. Sementara itu, pada lain pihak lagi, di dunia ini terdapat suatu kelompok bangsa manusia modern; mereka mengeksploitasi bumi, mengeruk isi gunung-gunung, lautan, merambah angkasa, dengan segenap kekuatan material, industri, teknologi, hingga mereka menghasilkan kehidupan material berlebih, sangat berlimpah ruah, namun betapa sangat ironis, hati mereka hampa, mati rasa, sepi dari segala kepekaan nurani dan terasing dari segala nilai luhur. Keutamaan hidup untuk menjiwai realitas, menghayati kedalaman hidup, serta mensyukuri keindahan, menyelami kepercayaan akan satu ihwal yang jauh lebih mulia dibanding alam serta sejarah, semuanya ini pada diri mereka telah melemah dan layu, bahkan boleh dibilang sudah di ambang kepunahan total.

Demikian sekilas gambaran soal kelompok-kelompok manusia dalam peradaban-peradaban hirarkis. Manusia ideal melampaui penggolongan dari sebagian kelompok di antaranya maupun salah satunya. Ia tidak tergolong ke dalam kelompok mana pun.

Manusia ideal, mengada dan bergerak di tengah-tengah alam, ia tidak lupa kepada Sang Pencipta, malah ia justru menjadi lebih memahami keagungan Allah Swt, merasa lebih dekat dengan-Nya. Dia turun ke bawah, membumi, memperjuangkan nasib rakyat serta kemanusiaan, membela kaum tertindas; dan dengan begitu, dia semakin menghayati betapa sangat dekatnya Allah Swt. Terhadap alam, ia bersikap santun, memeliharanya, tentu ia juga tidak mengabaikan umat manusia.

Karakternya lengkap. Beberapa perumpaman pribadinya, antara lain: keberaniannya ibarat Caesar, sementara di kedalaman dadanya bermukim hati Putra Maryam. Dia berpikir dengan akal Socrates sekaligus mencintai Allah SWT dengan kemurnian sanubari al-Hallaj. Sebagaimana sosok manusia dambaan Alexis Carrel, dia seorang manusia yang memahami keindahan ilmu pengetahuan serta keindahan Allah. Ia menghargai perkataan dari kelompok orang seperti Pascal atau Descartes. Seumpama Buddha, ia merdeka dari belenggu nafsu, telah bebas dari penjara hedonisme dan egoisme. Ibarat Lao Tze, ia menghayati kebersatuan dirinya dengan semesta alam. Seperti Konfusius, ia tulus memikirkan bagaimana nasib rakyat jelata. Seperti Spartacus, ia juga seorang pemberontak, berjuang melawan para penindas rakyat, pun sebagaimana Abu Dzar, ia konsisten menjadi seorang revolusioner, berjuang menggalang kekuatan, demi membela kaum papa dan lapar. Sebagaimana Nabi Isa juga, ia menyebarkan cinta, kasih sayang, dan perdamaian; sekaligus seperti Musa alaihissalam, ia setia berjihad di jalan Allah Swt dan mengupayakan pembebasan. Kemudian, lebih daripada itu semua, ia senantiasa bersungguh-sungguh meneladani Nabi Muhammad Saw dalam berbagai aspek kehidupan.

Ia, manusia ideal, berpemikiran filosofis, namun penting ditegaskan lagi, bahwa hal ini tidak menjadikannya lalai terhadap nasib umat manusia, justru sebaliknya, membuat ia semakin peka, makin bertanggungjawab, dan berkesadaran sosial semakin tinggi. Dalam keterlibatan politik, ia tidak terseret arus, apalagi terjerumus ke dalam demagogi; ia sama sekali tidak berkeinginan mencari popularitas atau kedudukan—jauh dari sifat riya. Ilmu pengetahuan tidak mengurangi keimanannya terhadap Allah Swt, sementara keyakinan tidak melumpuhkan kekuatan akal pikirannya. Kesalehan tidak mengubah dirinya jadi pertapa, biarawan, atau pendeta yang larut dalam kepasrahan pasif. Sedang aktivisme berserta komitmen revolusionernya tidak ternodai oleh immoralitas dan kemunafikan. Ia, manusia ideal, merupakan manusia jihad dan ijtihad (mujahid sekaligus mujtahid); manusia puitis dan pejuang; manusia penyendiri seraya berkomitmen sosial; manusia berperasaan mendalam sekaligus tajam dalam pemikiran; manusia kuat pemberani serta penuh kasih sayang; manusia berkeyakinan teguh dan berpengetahuan luas. Pendek kata, ia sosok manusia berkepribadian utuh, mempersatukan seluruh dimensi kemanusiaan sejati. Semua aspek kehidupan tidak mendeterminasinya jadi makhluk satu dimensi (one dimensional man), atau terbelah, kalah, dan teralienasi dari dirinya sendiri. Dengan mengabdikan diri kepada Allah sepenuhnya, ia terbebas dari belenggu perbudakan terhadap benda maupun manusia. Ketawakalannya kepada kehendak mutlak Allah Swt, membangkitkan segenap kesadarannya untuk memberontak melawan segala paksaan serta sistem dan hirarki opressif. Dia, manusia ideal, ialah manusia yang meluluhkan temporalitas sifat-sifat pribadinya, hijrah ke dalam identitas abadi umat manusia; di mana dengan cara penegasian diri (mem-fana-kan diri), ia menjadi bergerak sinergis dengan [spirit] “kehidupan kekal”.

Dia diberikan amanah besar oleh Allah Swt. Karenanya, dengan segala potensialitas dan kapasitas yang dianugrahkan kepadanya, ia mesti bersungguh-sungguh melaksanakan kehendak Allah, ia harus menjalankannya sepenuh rasa tanggung jawab dan komitmen penuh. Ia merasakan derajat “kesempurnaan” (baca juga: keutuhan) sebagai manusia ideal, bukan karena ia menjalin hubungan personal dengan Allah lewat jalan mengenyampingkan manusia-manusia lain, tetapi, ia mencapai kemanunggalan bersama-Nya dalam perjuangan mewujudkan kesempurnaan umat manusia (baca juga: mewujudkan ummah—masyarakat ideal). Allah Maha Mandiri, tidak butuh apa-apa dari siapa pun itu. Manusia ideal dalam menjaga hubungan dengan-Nya, justru menyatu dengan rakyat untuk berjuang bersama dalam menghadapi penderitaan, kesengsaraan, sekaligus memberantas kebodohan, syirik, dan keterbelakangan; konsisten mengatasi rintangan bagi kesejahteraan serta keselamatan umat manusia, istikomah melaksanakan perjuangan sosial. Pada kondisi demikianlah ia menemukan kesalehan, keutuhan diri dan keakraban dengan Allah Swt.

Seperti dikemukakan sebelumnya, manusia ideal bukan hasil bentukan lingkungan tertentu; sebaliknya, dia justru mengubah lingkungannya, seideal mungkin (dalam kata lain: sesesuai mungkin dengan kehendak Allah Swt, bukan atas dasar kehendak individual, bukan pula berdasarkan kepentingan golongan/kelompok, etnis, atau ras tertentu). Dengan keimanan dan kesadaran, ia telah memerdekakan diri dari semua bentuk paksaan, juga dari sistem opresif yang menyempitkan perkembangan masyarakat serta memaksa manusia menjadi mekanis dalam bingkai dunia modern dan dominasi industri. Ia bebas dari paksaan alam dan keturunan, bebas dari belenggu sejarah maupun dari paksaan lingkungan sosial. Dengan iman dan kesadaran yang didukung ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi secara bijaksana, ia dapat membebaskan dirinya dari tiga bentuk penjara: “alam”, “sejarah”, “masyarakat”; penjara keempat ialah “diri sendiri”,[2] dan ia memerdekakan dirinya melalui jalan cinta damai dan kasih sayang. Dengannya, ia memberontak terhadap ego, melawan-menundukkannya hingga mencapai tingkat ketenangan, memurnikannya kembali sesuai kehendak Ilahi.

Ia membebaskan karakter serta kepribadiannya dari norma-norma warisan rasnya dan dari kebiasaan maupun aturan opressif dalam masyarakat—semuanya ini serba relatif, temporal, produk lingkungan. Ia merevaluasi (baca juga: menjungkirbalikkan) semua nilai nisbi melalui jalan menerapkan hikmah abadi dan nilai-nilai ilahiah. Dengan demikian, ia meneladani sifat-sifat Allah Swt dan hidup di dalam kehendak mutlak-Nya. Bertindak saleh, mengamalkan perbuatan baik, bukan lagi dirasakannya sebagai suatu kewajiban atau beban; tetapi, atas dasar ketulusan-keikhlasan, ia merasakannya sebagai kebiasaan harian dan kenikmatan hidup. Akhlaknya tidak lagi dipengaruhi paksaan sosial (baca juga: social control) maupun hukum manusia dan konstitusi, atau kekangan otoriter lain. Perbuatan baik telah menjadi identik dengan dirinya, di mana fitrahnya sejalan dengan semesta. Nilai-nilai sakral (mulia-luhur) merupakan bagian fundamental dan integral dari dirinya, semua itu inheren, melekat erat dalam eksistensinya, dalam kehidupannya, pemikirannya, cintanya.

Di tangannya, seni atau kesenian bukan barang permainan, bukan produk hiburan yang melenakan, bukan pula sarana untuk pelarian diri dari kehidupan sosial, pun bukan alat buat mengalihkan perhatian rakyat atau mengalienasikan mereka; kesenian bukanlah pelampiasan hasrat terpendam, juga bukan abdi bagi kapital atau seksualitas dan politik, bukan pula abdi untuk seni itu sendiri. Jika seni dijejali hal-hal demikan, maka itu adalah perbudakan-penindasan. Seni, sejatinya, bagian kehidupan, merupakan amanah khusus dari Allah untuk umat manusia. Seni, hakikatnya, kalam kreatif Sang Khalik. Ia yang Maha Indah mengaruniakan seni kepada manusia, agar manusia, sebagai khalifah di muka bumi, memelihara alam sekreatif mungkin, hingga dengan penuh kesyukuran mereka dapat merasakan bumi sebagai “firdaus kedua” (bukan sebagai penjara atau tempat pembuangan), merawatnya dengan berkreativitas melestarikan kehidupan, mengembangkan keindahan, pemikiran, semangat, risalah, supaya semuanya terasa selalu baru, segar, harmonis serta dinamis, tidak monoton atau membosankan.

Allah memiliki kehendak dan kebebasan absolut, serta kesadaran dan kreativitas mutlak. Manusia ideal, sebagai pengemban amanah Allah, sejak lama telah dibentuk sebagai makhluk sempurna sesuai ketentuan-Nya, ia hasil kehendak mutlak Allah, dianugrahi dengan keindahan, kesalehan, kebijaksanaan. Dari sekian banyak makhluk di semesta alam, hanya manusia saja yang sanggup mencapai kemerdekaan, kesadaran, dan kreativitas—sekalipun semuanya ini nisbi. Allah SWT menciptakan manusia menurut “citra”-Nya sendiri [Allah telah berfirman, “jika kau mencari Aku, tandanya adalah dirimu sendiri”] dan manusia dilantik-Nya sebagai khalifah-Nya di muka bumi.

Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, keindahan. Atau dalam ungkapan lain: pengetahuan, akhlak, dan seni. Fitrah dirinya adalah khalifah Allah. Ia hasil kehendak mutlak-Nya, dianugrahi dengan tiga dimensi utama: kesadaran, kemerdekaan, kreativitas.

Ia merupakan makhluk teomorfis yang telah diturunkan ke bumi. Dengan cinta, kasih sayang, ilmu pengetahuan, beserta segala potensialitas lain pada dirinya, ia sebagai khalifah diperkenankan “memimpin seraya memelihara” (baca: bukan menguasai, apalagi mengeksploitasi!) segenap makhluk di dunia; Allah memang telah menakdirkan semesta alam sujud kepadanya, semua malaikat pun ikut bersujud (kecuali Iblis).

Dia merupakan pembawa misi perubahan di dunia. Ibarat pemberontak besar atau seorang revolusioner sejati, ia berjuang sungguh-sungguh menghadapi setiap kezaliman, membela kebenaran, menebar kasih sayang dan perdamaian. Singkatnya, mengikuti jalan para Nabi dan Rasul. Dengan keistkomahan dan konsistensi, eksistensi hidupnya bagaikan lintasan mulus yang ia jalani sesuai kehendak Allah, sampai ia dapat mencapai tujuan akhir penciptaan—“diperkenankan Allah Swt merasakan kemanunggalan bersamaNya”. Maksud ia diturunkan dari alam surgawi ke padang dunia nan gersang ini, yaitu demikianlah: untuk bersama-sama berjuang mewujudkan kesejahteraan lahir-batin umat manusia segaris lurus dengan amanah dan kehendak Allah.

Dia, yang sekarang mengemban tugas sebagai khalifah Allah, berjalan tulus di jalur pengabdian yang tak mudah, seraya membawa pesan dan memikul amanah. Kini zaman memang telah tua. Ia, sebagaimana manusia-manusia lain, telah sampai pada periode akhir sejarah dan berada pada masa-masa terakhir alam semesta.

[Hari] kebangkitan akan segera dimulai; dan suatu proyek rahasia terbentang antara Allah, manusia, dan cinta, [mungkin] sebuah proyek untuk menciptakan kehidupan baru, untuk mengisahkan babak penciptaan baru. Allah Maha Pencipta.

*

Demikianlah, Allah telah menawarkan kepada langit, bumi, beserta gunung-gunung untuk mengemban amanah sebagai khalifah, akan tetapi, mereka semua menolak, tak sanggup. Hanya manusialah yang menerimanya.

*

Manusia. Itulah dia. Pada mulanya melanggar Allah:
sebelah tangannya terperdaya syaitan—akal bulus,
lainnya terpesona peluk jemari Hawa—cinta manusia.
Lalu ia pun memikul amanah berat di punggungnya;
ia [juga Hawa] diturunkan dari surga, tempat penuh nikmat.
Di dunia, asing sendiri, saling terpisah merasa sunyi.
Ia memang telah memberontak titah Ilahi, namun selalu rindu ’tuk kembali.
Dan kini, telah dipahaminya, ia tercipta sebagai khalifah, ’tuk belajar
melalui segala bentuk ibadah, bagaimana mencapai jalan keselamatan.
Dengan ketawakkalan, ia sampai pada kasih sayang,
usai melancarkan pemberontakan terhadap diri sendiri.
Sekarang dia dibebaskan dari kepedihan dan kecemasan;
ia yang sebelumnya lari dari Allah, menjalani
ujian seraya dibersihkan dalam perapian dunia ini—
hingga sadar, murni, istikomah.
Dan kini ia insyaf,
ia ada di jalan kembali menuju Allah,
Sahabat Sejati, yang dengan keagungan-Nya,
setia menemani, selalu memberi petunjuk serta harapan
‘tuk menuju kepada-Nya, larut menyatu bersama-Nya.

*

Catatan Kaki:
[*] Terjemah bebas “The Ideal Man—The Viceregent of God,” dalam kumpulan kuliah Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam. Berkeley: Mizan Press, 1979, hlm. 121-125.

[1] Persoalan ini dijelaskan Syari’ati dalam tulisannya, “Anthropology: The Creation of Man and The Contradiction of God dan Iblis, or Spirit and Clay.” [pen.]

[2] Lebih lanjut, silakan baca salah satu tulisan Syari’ati, “Modern Man and His Prisons”, dalam Man and Islam. Iran: University of Mashhad Press, 1982. [pen.]

Penulis: Ali Syari’ati

0 komentar:

Posting Komentar